Hermeneutika dan Tafsir Alternatif
Home
Budaya Modern dan Despiritualisasi (1)
Budaya Modern dan Despiritualisasi (2)
Kecerdasan Makrifat (1)
Kecerdasan Makrifat (2)
Mendudukkan Tradisi
Globalisasi dan Radikalisme (1)
Globalisasi dan Radikalisme (2)
Bahaya Globalisasi Neoliberal
De-Globalisasi
Hermeneutika dan Tafsir Alternatif
Perlukah Tafsir Hermeneutik?
Antara Nash dan Maqashid
Agama Sebagai Konsep Kognitif (1)
Agama Sebagai Konsep Kognitif (2)
Saddam-Bush: Head to Head

 

Hermeneutika dan Tafsir Alternatif
Oleh: Ahmad Fuad Fanani

 

Perbedaan penafsiran teks agama adalah problem klasik yang senantiasa muncul dalam sejarah manusia. Perbedaan itu, kadangkala juga menyulut pertikaian hingga pertumpahan darah. Hal itu terutama masing-masing pihak mengklaim bahwa dirinyalah yang paling berhak menafsirkan teks agama dan memiliki otoritas kebenaran dalam beragama.

Hasilnya, penafsiran agama dan keberagamaan pun banyak yang terpaku pada seorang tokoh yang dekat dengan kekuasaan dan jauh dari kepentingan umat. Karena perilaku keagamaan yang banyak berlaku saat itu adalah pemahaman yang bersifat ideologis dan politis  meminjam istilah Arkoun, maka hasil produk-produk tafsirnya pun juga banyak yang melegitimasi penguasa.

Melihat kenyataan seperti itu dan setelah dibukanya kembali pintu ijtihad, sekarang ini banyak pemikir agama yang menganalisis dan mengajukan konsep pemecahan. Dalam menafsirkan Kitab Suci, kita haruslah mengkajinya secara menyeluruh, tidak terpotong-potong, serta melihat konteks turunnya yang dilanjutkan dengan pencarian model pelaksanaan pada masa sekarang. Hal inilah yang bisa ditemukan pada metode terbaru penafsiran, yaitu metode hermeneutika yang pada awalnya adalah sebuah metode dalam filsafat.

Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yang merujuk pada Dewa Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia.

Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus (langit) ke dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia (bumi). Fungsi Hermes menjadi penting, karena bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia.

Hermeneutika pada awal perkembangannya dikenal sebagai gerakan eksegesis di kalangan gereja dan kemudian berkembang menjadi filsafat penafsiran. FDE. Schleiermacher dianggap sebagai "Bapak Hermeneutika Modern", karena dialah yang membangkitkan kembali hermeneutika dan membakukannya sebagai metode umum interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab suci dan sastra.

Namun hermeneutika sebagai disiplin ilmu di atas bisa dipahami menjadi dua pengertian. Alur yang pertama memahami hermeneutika sebagai prinsip-prinsip metodologis usaha yang mendasari interpretasi. Sedangkan alur yang kedua melihatnya sebagai eksplorasi filosofis tentang karakter dan kondisi yang diperlukan bagi semua bentuk pemahaman (Richard E Palmer, 1969).

Carl Braaten, sebagaimana dikutip oleh Farid Esack (2001), berusaha mengakomodasi kedua alur itu menjadi satu dan menyatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa pada waktu dan budaya masa lampau, dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi kita pada masa sekarang.

Menurut Hassan Hanafi, hermeneutika sebetulnya bukan sekadar berarti "ilmu interpretasi" (suatu teori pemahaman), akan tetapi ia juga mengandung pengertian ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai tingkat dunia.

Jadi, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai menjadi kenyataan, dari logos sampai praksis, serta transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. (Hassan Hanafi, 1994). Proses pemahaman teks ini, menurut Hassan Hanafi hanya harus ditempatkan pada kedudukan kedua, karena yang pertama kali dilakukan adalah kritik kesejarahan.

Kritik kesejarahan ini dilakukan dengan tujuan untuk menjamin keaslian sebuah teks atau kitab suci dalam sejarah, sebab belum tentu semua teks asli atau tidak mengalami distorsi kepentingan ideologis maupun politis. Dari keaslian teks inilah, akan mudah diperoleh pemahaman yang tepat dengan ditunjang oleh dasar yang kuat juga. Langkah selanjutnya adalah mentransformasikan pemahaman arti teks itu dalam kehidupan manusia yang merupakan tujuan dari diturunkannya sebuah wahyu.

Tata kerja hermeneutika model Paul Ricoeur dan Jurgen Habermas juga layak diungkapkan di sini. Sebab, metode keduanyalah yang banyak dipakai untuk menafsirkan fenomena teks agama dan realitas sosial.

Paul Ricoeur adalah tokoh filsafat yang memusatkan perhatiannya pada hermeneutika, terutama elaborasi hermeneutiknya lebih ditekankan pada simbol dan teks. Beliau menjelaskan, bahwa hermeneutika adalah teori mengenai aturan-aturan penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda maupun simbol yang dianggap sebagai teks.

Artinya, hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat pada simbol atau teks, dengan cara membuka selubung yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol atau teks. Hal ini berkesesuain dengan Kitab Suci agama sendiri yang sering dianggap sebagai simbol atau teks yang perlu senantiasa ditafsirkan guna memperoleh suatu kebenaran maksud Tuhan.

Untuk memahami sebuah simbol atau teks, Riceour meniscayakan tiga langkah pemahaman yang harus dilakukan (E Sumaryono, 1997). Pertama, langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.

Simbol di sini bisa diartikan sebagai teks kitab suci yang mengandung makna di balik susunan hurufnya. Kehadiran sebuah simbol atau signifiant (tanda) yang selalu mengasumsikan adanya objek yang ditandai (signifie) (K Bertens, 1993). Objek yang ditandai itu adalah wacana; konteks sosio-hostoris dan sosio psikologis. Ketika wacana itu dilambangkan, jadilah ia sebuah teks (tanda-simbol-ayat).

Sedangkan Jurgen Habermas, dalam analisis metode hermeneutiknya, mengandaikan adanya keterkaitan antara bahasa, pengalaman, dan tindakan. Maksudnya, dalam proses "memahami", menurut Habermas, meniscayakan kebutuhan akan dialog.

Sebab, proses memahami adalah proses kerja sama di mana pesertanya saling menghubungkan satu diri dengan yang lainnya secara serentak pada dunia kehidupan. Dunia kehidupan atau lebenswelt ini mempunyai tiga aspek, yaitu: dunia objektif, dunia sosial, dan dunia subjektif.

Pendekatan hermeneutika mengandaikan adanya aturan-aturan linguistik transendental pada tindakan komunikatif, sebab pada dasarnya akal pikiran atau penalaran sifatnya melebihi bahasa. Artinya, perkembangan bahasa atau pemikiran pada dasarnya adalah hasil dari kreativitas perkembangan akal pikiran.

Maka, dalam pemahaman hermeneutika mempunyai tiga momentum yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Yaitu: pengetahuan praksis, tindakan praktis atau nyata, dan pemahaman yang bersifat global demi tatanan kehidupan sosial

Dari penjelasan tentang hermeneutika di atas, sesungguhnya letak persoalannya adalah bahwa pada metode hermeneutika, manusia sebagai para penafsir menduduki posisi yang signifikan. Oleh karena itu, dalam pandangan hermeneutika tidak ada sebuah konsep kebenaran tunggal penafsiran, karena yang ada adalah sebuah relativisme penafsiran yang bersumber pada maksud dan tujuan manusia.

Yang dimaksud relativisme penafsiran di sini bukan berarti tidak ada sebuah kebenaran pada tafsir terhadap teks, akan tetapi sebuah karya tafsir masih bisa diubah dan disesuaikan dengan konteks yang berkembang. Sebab, tujuan sang penafsir dalam menafsirkan teks pertama kali adalah untuk menjembatani masa lalu dan masa sekarang.

Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi sangat relevan kita pakai dalam memahami pesan keagamaan. Agar subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan Tuhan bisa ditelusuri secara komprehensif. Maksudnya adalah bahwa pesan Tuhan yang diturunkan pada teks kitab suci agama itu tidak hanya bisa kita pahami secara tekstual.

Agama harus kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks yang ada. Dengan begitu, teks agama beserta yang melingkupinya dapat digunakan agar selaras dan cocok dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat di mana kita berada dan hidup.

Dalam bahasa lainnya, harus ada keterkaitan yang erat antara teks, konteks, dan kontekstualisasi dalam penafsiran agama serta keberagamaan kita. Maka, agama akan betul-betul menjadi dinamis, progresif, revolusioner, serta menjadi garda terdepan kekuatan pembebas dari segala bentuk eksploitasi kemanusiaan.

Aktivis Jaringan Intelektual Muda uhammadiyah (JIMM),Peneliti al-Maun Institute for Islamic Reform (MIIR)

http://www.republika.co.id/cetak_detail.asp?id=146869&kat_id=16

05 Desember 2003