Kamis, 15 April 2004
Kecerdasan Makrifat
Bagian Pertama
dari Dua Tulisan
Oleh
:
Abdul Munir Mulkhan
Anggota PP Muhammadiyah,
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Dewasa ini,
dunia mengakui jasa tradisi intelektual Muslim bagi kelahiran peradaban modern, selain pengalaman otentik pendidikan yang
melahirkan pemikir besar. Namun kekayaan tradisi itu sepertinya gagal dikembangkan dalam dialektika modernitas ketika mengalami
ideologisasi. Pendidikan
modern melahirkan kemajuan peradaban dan manusia profesional, namun tanpa jiwa. Sementara dunia Islam berada dalam perangkap
kemiskinan dan keterbelakangan dalam keterpurukan romantisme.
Kita memerlukan pandangan dunia baru dengan meletakkan manusia, semesta jagad raya, fisis, dan ruhaniah dalam
kesatuan wujud realitas tertinggi Tuhan. Romantisme atas kekayaan tradisi intelektual Muslim masa lalu tidak memecahkan keterbelakangan
komunitas Muslim dan dehumanisasi modernitas kecuali tradisi intelektual Muslim itu bisa dihadirkan dalam rasio modernitas.
Kecerdasan makrifat (ma'rifat quotient/MaQ) dari tradisi sufi (Rahman, Ijtihad, 1984) dapat difungsikan sebagai
metodologi bagi pendidikan dan peradaban berkeadilan bagi kemanusiaan universal, jika bebas dari sentimen historis. Sufi adalah
tradisi yang terus hidup dalam kehidupan mayoritas Muslim di berbagai belahan dunia. Relevansi fungsi MaQ ialah jika rasio
modernitas diletakkan dalam ketakterukuran spiritual (Capra, 1997) dan intelek Muslim diletakkan dalam tubuh sejarah yang
tak pernah berhenti.
Kekhawatiran bahwa prediksi kebangkitan agama abad ke-21 akan memicu radikalisasi global (Huntington, 1995)
seperti memperoleh pembenar dari tragedi September Eleven. Di sisi lain, isu terorisme global yang meluas sesudah tragedi
itu membuat hubungan negara-negara Muslim dan Barat mencapai titik paling kritis. Krisis hubungan ini diperparah oleh kesenjangan
sosial-ekonomi kawasan utara dunia Barat berkemajuan dengan kawasan selatan-selatan dari bangsa-bangsa Muslim yang miskin
dan terbelakang. Modernisme telah gagal membangun peradaban berkeadilan dan kesejahteraan di semua kawasan (Haq, 1983).
Kondisi global di atas merupakan konsekuensi cacat bawaan modernisme. Peletakan ranah ruhaniah di luar rasio modernitas
dan mekanisme kehidupan manusia, membuat wilayah kehidupan modern terbagi habis dalam kategori konflik. Kecerdasan kreatif
dan imajinatif sebagai kekayaan ruhaniah spiritual kehilangan arah ketika pendidikan dirancang sebagai usaha mempersiapkan
manusia dalam kompetisi konflik. Peradaban modern tak
memberi ruang bagi orang lain untuk hidup setara.
Paradok global
adalah momentum bagi pengembangan MaQ yang membuka peluang manusia bebas dari perangkap konflik. Untuk itu diperlukan paradigma
baru yang bisa disebut paradigma kenabian yang meletakkan ketubuhan (material) dalam kesatuan hierarki sistematis dengan ruh
metafisis. Kreasi imajinatif-bebas diletakkan pada kepentingan ketubuhan, pemenuhan kepentingan ketubuhan diletakkan dalam
ruang bebas-kreatif dan imajinatif.
Tradisi intelektual
sufi ditempatkan sebagai tafsir ontologis, aksiologis, dan epistemologis kenabian dengan MaQ sebagai kunci metodologi. Di
sini dikembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan pendidikan bagi peradaban yang berkeadilan bebas konflik. Namun
tradisi intelektual itu perlu dihadirkan lewat jalan baru yang bebas dari romantisme klasik (Rahman, Ijtihad, 1984), sehingga
bisa berdialog dengan rasio modernitas.
Sistem MaQ
bisa dipertimbangkan bagi integrasi ilmu di saat lembaga pendidikan tinggi Islam tertua, IAIN, sedang berbenah menjadi UIN
yang bisa menempatkan sekularisme dan religiusisme Islamic Studies berhadapan secara langsung. Tanpa basis ilmu tunggal yang
dialogis, tersingkirnya Islamic Studies klasik dari dinamika kehidupan akademik seperti dialami berbagai perguruan tinggi
Islam di Tanah Air, sulit dihindarkan. Masalahnya tidak hanya terletak pada problem epistemologis aksiologis, dan teologis,
tetapi bagaimana kebenaran ilmu-ilmu keislaman berdialog dengan modernitas. Romantisme peradaban Islam yang berjasa mengenalkan
peradaban Yunani kepada dunia modern tidak cukup berarti, kecuali intelektual Muslim mengambil peran kreatif di dalam dinamika
modernitas.
Peradaban
modern lahir dengan cacat bawaan dengan risiko ketidakadilan, konflik, dan kemiskinan global. Nilai etik dan moral dimaterialisasi
ketika korupsi mulai dipakai sebagai alat produksi bagi keuntungan berlimpah tanpa kerja keras (Naisbitt, Paradox, 1994).
Perang internal dan antar-bangsa yang terus berlangsung di berbagai belahan dunia, kerusakan lingkungan, bencana alam, penyebaran
HIV/AID, menjatuhkan ribuan korban jiwa. Di tengah perdebatan pemanasan global atau kehabisan energi yang dilepas dari ikatan
alaminya oleh teknologi, kehancuran peradaban umat manusia merupakan ancaman serius (Schumacher, Kecil, 1985).
Modernitas seperti tak peduli pada ancaman "kiamat" yang diciptakannya. Manusia tak berdaya menghadapi diri
sendiri yang tumbuh bagai monster berwajah teknologi. Demokrasi tanpa etika ilahiah bisa berubah menjadi daur ulang kekerasan
sistematis dan legal. Manusia terperangkap dalam lingkaran setan peradaban seperti tanpa jalan keluar. Cacat teologis, epistemologis,
dan aksiologis dari modernitas menimbulkan ancaman global. Secara sadar modernitas menolak metafisika ketika kesalehan religius
gagal membela kemanusiaan. Ketika rasio modern hanya bergulat pada apa yang fisis-material (Kuntowibisono, 1983; Hamersma,
1983), dinamika ruh diletakkan dalam posisi subordinat. Manusia dipandang sebagai akhir evolusi pelikan, tumbuhan, dan hewan
di dalam dinamika jasadiah (tubuh) tanpa jiwa (ruh).
Teologi pembebasan yang muncul awal 1970-an (Gutierrez, 1973) dan memperoleh
sambutan luas di dunia ketiga, sebagai kritik praktik kesalehan kapitalistik, seperti bergerak di pinggiran dan gagal menusuk
jantung modernitas. Selain Gutierrez kita bisa menyebut Kiri-Islam-nya Hassan Hanafi (1991; Shimogaki,1993), Teologi Pembebasan
Asghar Ali Engineer (1999), dan gerakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang menjamur bersama dengan pendidikan kritis Paulo
Freire (Tertindas, 1985). Namun semua kritik itu tampak belum bisa membedah modernitas kapitalistik, sehingga bebas dari mekanisme
konflik dan ketidakadilan.
Praktik pendidikan, bersama ilmu sosial kritis hingga tahapan terakhir (Agger, 2003) belum bisa bebas dari cacat
modernitas. Sejarah terperangkap dalam mekanisme habis-bagi, sehingga ruh (jiwa) manusia kehilangan fungsi kreatif-bebas-imajinatif.
Ketika kesalehan klasik gagal memihak kemanusiaan yang teralienasi dan terdehumanisasi, modernitas mencipta kemiskinan, konflik,
ketidakadilan, dan ketertindasan. Dari sini cahaya ilahi seperti terkubur dalam puing-puing modernitas. Peradaban modern terperangkap
tesis Malthus dan "kiamat" Club of Roma (Kennedy, 1995). Sementara optimisme peradaban global atas pertumbuhan ekonomi negara
industri 100 kali lipat negara miskin (Naisbitt & Aburdene, 1990), tampak mengabaikan ketimpangan distribusi pangan dan
energi serta kemiskinan lebih satu miliar manusia. Secara struktural pula modernisme melestarikan konflik, kesenjangan sosial-ekonomi,
kemiskinan dan ketidakadilan.
Laju pertumbuhan penduduk di kawasan terbelakang tetap lebih tinggi, ketika persedian barang konsumsi melimpah
ruah di kawasan maju. Dari sekitar 14 miliar penduduk dunia, 75 persen tinggal di kawasan terbelakang yang terus dihantui
degradasi mental, kemampuan ekonomi, alam, dan sosial (Kennedy, 1995).
Pertumbuhan 400 persen ekonomi global di akhir abad ke-20 atas jasa iptek hanya dinikmati negara maju. Seorang
penduduk dari kawasan miskin hidup dengan sekitar 300 dolar per tahun, dan masih harus membayar hutang luar negeri yang membengkak
400 persen dengan sumber daya manusia rentan mental dan fisik. Tahun 1960-an, 31 persen penduduk kawasan maju mengkonsumsi
87 persen energi dunia, di akhir abad ini, 23 persen penduduk dunia itu mengkonsumsi 67 persen energi dunia (Schumacher, Kecil,
1985). Ketimpangan ekonomi antara kawasan bangsa berkemajuan iptek dan terbelakang berbanding 20:1 (Haq, 1983). Pertumbuhan
penduduk berbanding 1:3, kelimpahruahan energi berbanding 21:1, pendapatan per kapita per tahun berbanding 100:1 (Kennedy,
1995; Schumacher, Kecil, 1985). Seperempat abad lalu, ketimpangan kaya-miskin itu masih berbanding 20:1.
Ketimpangan penduduk kaya dan miskin tersebut lebih dramatis di negeri ini ketika korupsi mulai berfungsi sebagai
alat produksi (Naisbitt, Paradox, 1994). Masyarakat miskin masih harus membayar biaya hidup lebih mahal karena tenaga kerjanya
dibayar lebih murah, penggunaan waktu hidup tidak produktif, dan peluang memperoleh pendidikan yang baik hampir tertutup.
Tanpa kritik filosofis, manusia di kawasan selatan-selatan di negara miskin akan terus menjadi korban keganasan modernisme
dan ketakpedulian kesalehan romantis. Dari sini MaQ berfungsi sebagai kritik modernitas sebagai basis epistemologi pendidikan
dan peradaban dunia baru.
Paradok modernitas bersumber pada kegagalan sintesis kesalehan dan sekularitas. Iptek gagal memahami ketakterukuran
tunggal realitas alam dan kehidupan manusia (relatif-probalistik; Jenie dalam Mulkhan, Religiositas, 1998). Modernisme mengabaikan
realitas metafisis terjebak di dalam struktur ketidakadilan yang diciptakannya (Schumacher, Kecil, 1985). Sejarah modernitas
merupakan kisah penderitaan umat manusia (Berger, 1982).
Kemampuan iptek menciptakan energi murah (Naisbitt & Aburdene, 1990) mengabaikan hak hidup 1 miliar manusia.
Tiap hari mereka berjuang menahan lapar hanya untuk bertahan hidup (Korten, 1993). Malpraktik teknologi modernitas telah menciptakan
ketidakadilan dan kemiskinan. Konflik ketidakadilan belakangan ini melahirkan isu terorisme global, sering menempatkan bangsa-bangsa
berkembang dalam posisi tertuduh. Situasi ini justru memperparah krisis hubungan bangsa-bangsa Muslim dan Barat. Praktik demokratisasi
tanpa etika ketuhanan gagal mengatasi konflik dan kekerasan, karena terperangkap di dalam mekanisme yang sama, yang juga dialami
oleh negara berkemajuan (Goldsheider, 1985).
Realitas duniawi
Etika universal kemanusiaan seperti tampil berlawanan arah dengan modernitas
dan kesalehan romantis. Ketidakadilan dalam modernitas adalah akibat hasil produksi dimaknai sebagai milik mutlak pribadi
(Schumacher, Kecil, 1985). Sementara etika sufi lebih dipahami sebagai pelarian dari dinamika sejarah yang cenderung menciptakan
kesejahteraan semu.
Karena itu, reorientasi modernitas dan kesalehan merupakan tuntutan sejarah. Manusia dipahami bukan sekadar
ketubuhan, tetapi sekaligus ruhaniah-metafisis. Rasionalitas tidak berhenti pada mekanisme habis-bagi, tetapi di dalam keberlangsungan
ruhaniah-metafisis. Realitas adalah suatu kesatuan wujud yang manusia sebagai bagian integral dan hidup sosial sintetik, sehingga
bisa berbagi kesalehan dan kemakmuran. Melalui proses itu mekanisme konflik berfungsi bagi daur-ulang kehidupan dan peradaban
yang semakin bermutu dan manusiawi.
Dalam rasio keberlangsungan, MaQ ialah evolusi lanjut rasio modernitas. IQ (Intelligence Quotient) kerja dari
logika formal, EQ (Emotional Quotient) dari logika material, SQ (Spiritual Quotient) dari hermeneutik, MaQ ialah kerja dari
intuisi kasyf. Jika EQ syarat kerja efektif IQ, SQ bagi EQ (Zohar, 2003), maka MaQ ialah syarat efektivitas IQ, EQ, dan SQ.
Manusia diberi arti mikro-kosmos (Burckhardt, 1984) yang lewat ruhnya segala wujud dipertali-hubungkan bebas dinamika bendawi
yang habis-bagi. Dari sini dikembangkan peradaban dunia yang makmur berkemajuan bagi semua orang di semua kawasan.
(Diringkum dari pidato pengukuhan Abdul Munir Mulkan sebagai guru besar Filsafat Pendidikan Islam, UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, pada 30 Maret 2004)
http://republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=16, 15 April 2004