Rabu, 26 Mei 2004
Budaya Modern dan Despiritualisasi
Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Oleh :
Abdul
Hadi WM
Penyair, Budayawan, dan Pengajar di Universitas Indonesia
Dewasa ini sudah biasa orang
menghubungkan kebudayaan modern dengan kondisi-kondisi kehidupan tak terhindarkan yang diciptakannya, seperti meluasnya berbagai
bentuk kemerosotan nilai yang berpangkal dari hedonisme, kehampaan spiritual, dan hasrat melampaui batas terhadap kebebasan.
Kondisi lain yang tak kerhindarkan ialah alienasi dengan berbagai manifestasinya, sikap asosial, dan nihilisme yang membuat
manusia kehilangan makna dalam hidupnya. Dengan demikian pula kehilangan tujuan dalam hidupnya. Semua itu merupakan manifestasi
dari krisis yang dialami manusia modern yang hidup dalam peradaban serba-materialistis.
Tetapi apabila orang berbicara
tentang kebudayaan dan peradaban modern serta krisis-krisis yang ditimbulkannya, biasanya orang hanya menunjuk pada kemajuan
ilmu pengetahuan dan tehnologi sebagai biang keladinya, dan lupa bahwa sumber dari krisis itu adalah berbagai manipulasi dan
penyalahgunaan terhadap kemajuan yang dicapai di bidang ilmu pengetahuan. Orang juga lupa bahwa sumber dari berbagai krisis
yang dihadapi manusia sebenarnya dapat dicari pada falsafah hidup, sistem nilai, dan gambar dunia (weltanschauung) yang mendasari
kebudayaan modern.
Pada jika orang berbicara tentang
kebudayaan modern Barat, orang hanya ingat bahwa fondasi yang membentuk kebudayaan Barat ialah Helenisme, atau semangat kebudayaan
Yunani yang mencintai pemikiran rasional, penelitian ilmiah, dan demokrasi. Semangat Helenisme ini kemudian dikaitkan dengan
sejarah munculnya Renaissance yang memicu timbulnya revolusi ilmi pengetahuan dan lahirnya falsafah rasionalisme dan empirisme
pada abad ke-17 dan ke-18 M. Orang lupa pada anasir dominan lain yang mendasari pembentukan kebudayaan dan peradaban modern,
yaitu Hebraisme.
Hebraisme dan protestanisme
Hebraisme adalah istilah yang saya ambil dari buku Mathew Arnold, Culture and Anarchy. Dia
adalah seorang cendekiawan Inggris abad ke-19 yang sangat kritis terhadap perkembangan kebudayaan Barat. Dalam bukunya itu
Arnold mengatakan lebih kurang bahwa sendi-sendi yang memperkuat kebudayaan
dan peradaban Barat bukan hanya Helenisme (kebudayaan Yunani), tetapi juga Hebraisme (kebudayaan Ibrani). Kebudayaan Yunani
telah memberikan kepada Barat perangkat-perangkat penalaran rasional, penghargaan pada inteligensi, serta kecintaan pada falsafah
dan ilmu pengetahuan alam. Di lain hal, Hebraisme memberikan dasar-dasar kokoh berupa kecintaan untuk bekerja keras dengan
gairah yang tinggi, kepatuhan menjalan tugas dan kewajiban sesuai aturan dan pengendalian diri. Tanpa itu kemajuan ilmu pengetahuan
dan pemikiran falsafah, tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata dan tidak akan pula mempunyai arti apa-apa (Barret 1961).
Berbeda dengan Helenisme yang
didasarkan atas sendi-sendi pemikiran dan penalaran rasional dari Aristoteles dan Plato, Hebraisme didasarkan pada sesuatu
yang oleh kebanyakan orang modern disebut irasional, yaitu bentuk-bentuk keimanan tertentu yang telah diwujudkan selama berabad-abad
dalam kehidupan praktis bangsa Ibrani atau orang Yahudi. Apabila kebudayaan Yunani mengajarkan penghargaan yang tinggi terhadap
inteligensi dan etika, kebudayaan Ibrani menekankan pada kegairahan bekerja sehingga mencapai hasil maksimal walaupun harus
mengabaikan nilai-nilai moral dan etika. Hebraisme ini meresapi kebudayaan modern Barat secara evolusioner, mula-mula melalui
gerakan reformasi keagamaan pada akhir abad ke-13 M, seusai Perang Salib, dan berlanjut setelah orang-orang Yahudi memainkan
peranan menonjol dalam kehidupan intelektual dan ekonomi. Merekalah yang memperkenalkan sistem perbankan yang menjadi sendi
utama kapitalisme modern.
Persoalan pokok dari gerakan
reformasi itu ialah bagaimana menafsirkan Bibel dengan metode hermeneutika sehingga muncul pemahaman baru yang segar dan kontekstual.
Upaya tersebut dilakukan karena tokoh-tokoh reformasi menganggap bahwa tafsir resmi yang diajarkan gereja Katholik tidak sesuai
dengan tuntutan zaman dan menyimpang dari ajaran Kristen yang sebenarnya. Tafsir baru terhadap Bibel yang diperkenalkan tokoh-tokoh
reformasi itu mendapat bentuknya yang muktamad pada awal abad ke-16 M dengan munculnya Martin Luther dan John Calvin, yang
merupakan pendiri Prostestanisme. Tafsir yang mereka lakukan didasarkan pada tradisi tafsir yang telah dilakukan mufasir-mufasir
Yahudi terhadap kitab Taurat dan Perjanjian Lama. Demikianlah dengan berkembangnya Protestanisme di Eropa, jiwa kebudayaan
Ibrani menjadi unsur dominan dalam perkembangan kebudayaan Eropa (Dawson 1958).
Kemerosotan nilai
Dalam bukunya The End of Histroy and The Last Men (1992), secara tersirat Fukuyama menyatakan
bahwa semangat Protestanis Hebrais inilah yang membuat sistem demokrasi liberal dan kapitalisme di Eropa mencapai hasil yang
diinginkan berupa kemakmuran ekonomi dan melimpahnya kesejahteraan material. Jadi, menurut
Fukuyama, keberhasilan itu tidak semata-mata disebabkan oleh prinsip-prinsip liberalisme itu sendiri.
Melainkan oleh kekuatan irasional yang disebut thymos, yaitu semangat kerja penuh gairah. Namun demikian keberhasilan itu
juga harus dibayar dengan mahal berupa munculnya masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan secara rasional. Misalnya merajalelanya
kecanduan akan obat bius, kegemaran pada pornografi, tingginya tingkat kriminalitas, kegandrungan akan hidup santai melalui
musik rock, dan suburnya perilaku asosial, serta rusaknya lingkungan hidup sebagai akibat dari konsumerisme yang melampaui
batas.
Semua bentuk perilaku yang telah
disebutkan itu menandakan bahwa telah terjadi kemerosotan nilai yang parah dalam kehidupan modern dan memberi petunjuk bahwa
nihilisme menjadi ancaman bagi masyarakat modern yang menerapkan sistem liberal dan membiarkan konsumerisme tumbuh tanpa terkendali.
Maka bukanlah tanpa alasan apabila Allan Bloom (1987) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya nilai-nilai
dan meluasnya ancaman nihilisme itu justru berasal dari prinsip-prinsip kebebasan yang diterapkan oleh masyarakat Barat itu
sendiri.
Menulis dalam bukunya yang menghebohkan
pembaca Amerika, The Closing of the American Mind, Bloom mengatakan bahwa kehidupan kaum muda di kampus-kampus Amerika dewasa
ini sangat kontraproduktif dengan keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat kapitalis yang ditegakkan di atas fondasi semangat
Protestanisme. Kebanyakan kaum muda itu tidak memiliki kerinduan terhadap nilai-nilai yang lebih tinggi. Pikiran mereka hampa,
tubuh mereka telah terpuaskan oleh buaian musik rock dan seks bebas. Kehidupan mereka dikuasai oleh bentuk-bentuk relativisme
yang bersahaja dan santai. Mereka menganggap dirinya terbuka pada pluralisme tetapi hatinya tertutup terhadap kebajikan moral
dan spiritual.
Penyebab utama dari semua itu
adalah sistem demokrasi liberal yang diterapkan di Amerika sejak abad ke-19 M. Sistem tersebut diasaskan berdasarkan prinsip-prinsip
kebebasan dan persamaan (equality) yang dikmebangkan dari pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke, filosof abad ke-17 dan ke-18
dari Eropa. Prinsip-prinsip tersebut kemudian dikembangkan dalam Declaration of Independence yang disusun oleh Thomas Jefferson. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan individu dari segala bentuk
kekangan. Persamaan yang dimaksud ialah penghapusan segala bentuk perbedaan berdasarkan status sosial, bahkan juga perbedaan
kodrat seperti perbedaan kodrat lelaki dan wanita seperti yang dicetuskan oleh para pendiri Women Liberation.
Semua perilaku yang ditunjukkan
anak-anak muda Amerika sekarang ini, kata Bloom, merupakan ungkapan yang sempurna dari jiwa yang bebas. Tetapi lebih penting
Bloom mengatakan bahwa semua perilaku bebas yang hedonistik dan destruktif itu dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap
Protestanisme yang mengkungkung manusia dengan kewajiban bekerja keras dan ketaatan pada hukum sebagai upaya untuk menebus
dosa yang merupakan beban bawaan manusia.
Tetapi yang dilupakan oleh orang-orang
seperti Bloom dan Fukuyama ialah kenyataan bahwa akar-akar terhadap penggembosan nilai-nilai
dan dimensi spiritual dari kehidupan manusia itu tersembunyi dalam Protestanisme dan Hebraisme itu sendiri. Letak akar atau
sumber permasalahannya pertama-tama, ialah proses 'despiritualiasi' ajaran agama yang telah sejak awal dilakukan oleh para
pencetus Reformasi dan Protestanisme. Yang kedua, ialah penjungkirbalikan nilai-nilai moral dan kemanusiaan dalam praktik
ekonomi orang Yahudi. Pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan moral itu diteruskan oleh kapitalisme modern, dan sendi-sendinya
diperkuat oleh pemikiran falsafah yang berkembang pada abad 17-19 M, khususnya dari aliran-aliran menonjol seperti utilitarisme,
positivisme, materialisme, evolusionisme, pragmatisme, dan lain-lain.
Memang betul bahwa seperti dikatakan
Matthew Arnold, Hebraisme menyumbangkan etos kerja yang terpuji dan unggul, ketaatan pada hukum dan solidaritas kelompok yang
kuat. Tetapi semua itu hanya berlaku untuk dan demi kelompoknya sendiri, sedangkan terhadap kelompok dan bangsa lain yang
menjadi sasaran eksploitasinya, kapitalisme mengabaikan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Inilah benih standar ganda Barat
dalam memandang bangsa-bangsa lain di luarnya, khususnya bangsa-bangsa Asia.
Kecenderungan mengabaikan nilai-nilai
moral dan kemanusiaan di bidang ekonomi dan perdagangan itu digambarkan dalam banyak karya sastra Eropa abad ke-16 dan ke-17.
Misalnya dalam karya-karya Shakespeare dan Christopher Marlowe. Dalam drama Shakespeare seperti Saudagar Venezia dimunculkan
tokoh pedagang Yahudi yang dalam dirinya mewakili watak triumvirat Setan-Machiavelli-Yahudi. Dalam drama Marlowe dihadirkan
dalam watak triumvirat Setan-Yahudi-Yudas Iskariot.
Tentu saja tidak semua orang
Yahudi melakukan praktik buruk seperti itu. Tetapi praktik seperti pemungutan bunga yang tinggi atau riba dalam sistem pinjam
meminjam uang yang dijalankan oleh para pedagang Yahudi sejak lama, kemudian ditransformasikan ke dalam sistem perbankan modern.
Apabila sebuah praktik diserap ke dalam sebuah sistem seperti kapitalisme, maka persoalannya menjadi lain. Apalagi jika sistem
tersebut diakui secara hukum dan dijamin oleh sebuah undang-undang resmi sebuah negara. Namun berkat sistem kapitalisme yang
digerakkan oleh kekuatan irasional yang ada dalam diri manusia pulalah, maka ekspansi ekonomi dan penguasaan Barat terhadap
bangsa-bangsa lain di dunia dapat dimungkinkan.
Di bawah naungan kapitalisme
pulalah kolonialisme bertahan lama di masa yang lalu. Begitu pula berkat kapitalisme pulalah maka falsafah, ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, serta orientalisme, dapat dikembangkan sedemikian pesatnya di Barat, serta disebarkan ke seluruh dunia
sehingga mempengaruhi perkembangan tradisi intelektual kaum terpelajarnya yang terbaratkan. Gambaran simbolik dari manusia
modern, yang tidak puas hanya dengan menguasai ilmu pengetahuan dan falsafah, kecuali apabila dengan itu dapat menguasai dua
alam -- yaitu alam pemikiran dan alam kekayaan duniawi -- dilukiskan oleh Goethe dalam wujud manusia Faust. Untuk memenuhi
hasratnya, Faust bersedia menggadaikan jiwanya kepada Setan.
Dalam Perjanjian Lama, Iblis
justru memohon kepada Tuhan agar diperkenankan menggoda Ayub untuk menguji keimanannya. Godaan kepada Ayub ternyata gagal,
walaupun dia ditimpa sakit parah, dilanda kemiskinan dan ditinggalkan sebatangkara oleh anak istrinya.
http://republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=161969&kat_id=16