Globalisasi
dan Radikalisme
(Bahagian Pertama)
Oleh : KH Dr Tarmizi Taher
Saat ini dunia kita telah
berubah menjadi ''Kampung Besar'' di mana kemajemukan bangsa dan agama tidak terelakan. Pertemuan Agama-agama adalah salah satu fenomena global yang terjadi dengan dahsyat.
Dunia Barat telah menjadi tempat subur Dakwah Islam, kaum Muslimin dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia telah menjadi imigran
legal dan illegal di masyarakat Barat untuk mencari hidup dan mengubah kehidupan politik, ekonomi, dan pendidikan anak cucunya.
Kaum Muslimin tidak lagi dalam lingkungan tradisionalnya
sebagai tempat kelahiran Islam, yaitu Timur Tengah atau negeri-negeri Arab. Konflik internasional dan eksternal negeri-negeri
Arab menyebabkan imigran terbesar di Barat adalah umat Muslimin di (Eropa dan Amerika).
Saat ini, di Amerika kita dapatkan sejumlah imigran-imigran
Afrika Timur Tengah dan Asia, sementara sebagian kecil adalah pengikut-pengikut Islam yang baru saja mendapat hidayah. Dalam
tentara yang tergabung dalam NATO misalnya, kini didapati para imam untuk pembinaan tentara yang beragama Islam. Lahan subur
dakwah Islam di Barat menyebabkan Islam menjadi agama yang tercepat menyebar di Barat, khususnya di tengah kaum intelektual
dan mahasiswa.
Sayangnya setelah 11 September 2001 kaum Muslimin menjadi
orang-orang yang dicurigai di tengah-tengah warga Negara Eropa, terlebih-lebih di Amerika Serikat. Walaupun dakwah Islam tidak berhenti, karena
''keingin tahuan'' masyarakat baik di Amerika maupun di Eropa. Ulama dan intelektual Muslim makin laris diundang untuk berceramah tentang Islam. Masyarakat Barat yang krisis tidak
bisa diyakinkan oleh media Barat, bahwa Islam identik dengan terror, kekerasan, dan radikal. Malahan baru saja Amerika Serikat
meluluskan ''Undang-undang'' agar masyarakat Muslim tidak dijadikan terdakwa akibat perbuatan radikal orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Kampus-kampus adalah wilayah kritis terhadap penguasa Barat yang getol menghidupkan lagi konservatisme.
Saat ini dunia Islam, masih tertinggal dari umat lain
dalam pendidikan dan ekonomi. Kedua faktor utama ini menyebabkan kaum muslimin merasa Barat khususnya penguasanya, tidak adil
dalam politik terhadap umat Islam, apalagi kalau terfokus pada masalah konflik Palestina dan Israel. Masalah konflik berlarut-larut Palestina dan Israel inilah asal mulanya lahir radikalisme masa kini.
Keadaan sosial-politik dan ekonomi orang-orang Paletina
adalah lahan subur timbulnya ''Dendam-dendam politik'' yang lebih luas yaitu: Arab dengan Israel. Konflik Arab dengan Israel ini meluas menjadi konflik Islam dengan Yahudi. Memang
Islam dengan Arab tidak bisa dipisahkan dalam sejarah dunia Islam, tetapi dapat secara cermat dan jernih dipisahkan. Untuk
kepentingan analisa strategis.
Kultur Arab tentunya tidak identik dengan kultur Islam,
walaupun semua mengetahui benar bahwa dalam hadis Nabi Muhammad SAW tidak ada kelebihan Arab atas non Arab, kecuali dengan
taqwa. Dalam dunia Islam yang masih tertinggal dalam ekonomi dan pendidikan, khususnya Timur Tengah (negara-negara Arab) tenggelam
dalam konflik yang berkepanjangan, maka yang menonjol adalah ''Keberagaman Arab'' yang emosional.
Kultur emosional dalam pertemuan ilmiah dan dakwah,
kurang kita dapati di regional Asia Tenggara, regional Asia yang penuh kemajemukan dan toleransi dapat memainkan peran ummatun wasato (peran umat yang moderat) saat-saat
transisi dunia Islam ini. Islam yang telah menjadi mengglobal setelah tak pantas lagi menjadi ''emosional'' dalam era demokrasi
dan kontribusi sesudah tiba saatnya dalam era globalisasi ini, kaum Muslim memberi kontribusi kemanusiaan dan kesalehan hidup
dalam menuntun jalannya nilai-nilai hidup manusia modern.
Bahkan nilai-nilai Barat
telah memperlihatkan tanda-tanda kehancuran. Dari sebuah buku, The Desst Of The West (Habisnya Dunia Barat) yang ditulis oleh
seorang pendeta Petric B. Jenert (guru George W. Bush) menyatakan, Dunia Barat sedang menuju kehancuran. Hal ini dibuktikan
dengan tanda-tanda: pertama, orang Barat tidak senang lagi punya anak. Kedua, orang Barat tidak senang lagi punya cucu.
Mutual respek kultur
dalam era globalisasi, makin penting untuk kita kembangkan sebagai kaum Muslimin dari kampung kecil yang negatif, sudah seharusnya
ditinggalkan dalam pergaulan dunia yang mengglobal. Kurangnya pendidikan seperti tidak bisa berbahasa setempat adalah ciri
negatif utama imigran Muslim di Barat. Tindak kriminal di Barat makin membaur antara ''mafia'' dari Italia dengan ''mafia''
dari wilayah Muslim tidak terkecuali obat terlarang. Image Islam di Barat, kadang-kadang timbul dan muncul dari ulah kriminal minoritas imigran Muslim.
Lahirnya Radikalisme
Tidak ada agama dan umatnya terbebas dari gerakan
radikal dalam sejarah dunia dan sejarah kemanusiaan. Agama dan umatnya tidak bisa terlepas dari lingkungan. Munculnya gerakan
keagamaan yang bersifat radikal merupakan fenomena penting yang turut mewarnai citra Islam kontemporer. Masyarakat dunia belum bisa melupakan
peristiwa revolusi Iran pada 1979 yang berhasil menampilkan
kalangan mullah ke atas paggung kekuasaan. Dampak dari peristiwa itu sangat mendalam, karena kebanyakan pengamat tidak pernah
meramalkan sebelumnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dunia, khusunya Barat, dibuat bingung karena rezim mullah begitu
bersemangat untuk melawan dan menyingkirkan mereka.
Hegemoni politik dan
kultural Barat yang sebelumnya kuat mengakar dalam kehidupan sehari-hari ikut pula diganti dengan tatanan baru yang tidak
didahului preseden historis. Proses pembaikan itu begitu radikal, sehingga simbol yang terkait dengan budaya Barat tidak diberi
ruang. Penguasa juga tidak segan-segan menjatuhkan hukuman terhadap mereka yang dicurigai sebagai agen dan kaki tangan Barat.
Akibatnya jutaan rakyat harus keluar dari negeri tersebut, dan sebagian mereka juga terpaksa meringkuk di penjara.
Keberhasilan Revolusi
Islam Iran semakin memperkuat gerakan di negara-negara Iran
dalam mengekspor revolusi, banyak peneliti menyatkan tidak terlalu sulit menemukan bukti keterlibatan negara ini sebelumnya
dalam aksi-aksi radikal di negara-negara lain. Secara diam-diam negara ini turut mensponsori gerakan keagamaan di Libanon
dan Palestina. Mereka juga tidak sungkan-sungkan mendukung gerakan serupa di Eropa, dengan misalnya, menjatuhkan hukuman mati
kepada Salman Rusdi walaupun ia bukan warga negara Iran. Sikap
mereka yang agresif ini kemudian memunculkan banyak kekhawatiran dan curiga dari negara-negara lain, termasuk negara yang
mayoritasnya Muslim. Di Indonesia sendiri citra Iran lebih
banyak dikaitkan dengan radikalisme agama sehingga Shi'ahisme belum bisa diterima secara terbuka.
Iran
hanyalah satu kasus dari gerakan radikalisme keagamaan yang dalam Islam. Di belahan dunia lain, Aljazair, juga menyuguhkan
peristiwa yang tidak kalah memprihatinkan. Selama beberapa tahun terakhir, negara ini selalu dirundung kekacauan politik yang
banyak memakan korban jiwa. Situasi ini bermula dari pemilu demokrasi pertama yang diseleggarakan negeri itu pada 1986, dimana
kemenangan partai Islam (FIS- Front Pembela Islam) dianulir oleh kelompok nasionalis yang ditakut-takuti dan didukung Barat.
Secara apriori, pihak nasionalis dan Barat melihat kemenangan tersebut sebagai ancaman terhadap demokrasi dan pluralisme,
sedang FIS merasa bahwa tindakan sepihak kalangan nasionalis jelas-jelas merugikan mereka. Oleh karena tidak tercapai kompromi,
keduanya tidak dapat menghindarkan penggunaan kekerasan hingga saat ini.
Gerakan keagamaan yang
menyertai kekerasan itu hanya dilakukan oleh organisasi besar dan mapan. Kejadian-kejadian sporadis yang berupa pemboman pesawat
sipil, barak tentara atau pasar, juga penculikan, kelompok-kelompok yang biasa disebut Barat sebagai ''teroris''. Menurut
data masyarakat Barat, sebagian mereka didukung oleh Libia dan Iran,
dan sebagian lagi didukung oleh organisasi kecil yang militan. Di antara yang mendapat liputan luas adalah gerakan Hammas
dan Jihad. Keduanya secara terang-terangan menyatakan dirinya bertanggung jawab atas beberapa kejadian berdarah, termasuk
pembunuhan terhadap presiden Mesir, Anwar Sadat.
Maraknya gerakan radikalisme dalam masyarakat Muslim
secara langsung memperteguh citra lama tentang Islam bahwa pada dasarnya agama ini bersifat radikal dan intoleran. Kesan ini
sulit dibantah, karena gelombang radikalisme Islam telah menjadi bagian penting dari rentetan kekisruhan politik sejak pertengahan
abad ini. Bahkan pada abad-abad sebelumnya patro-radikalisme Islam telah muncul sebagaimana yang ditunjukkan oleh gerakan
politik-keagamaan.
Yang dipimpin oleh Usman dan Fodio Afrika, Wahhabiyah
di Semenanjung Arab, dan jauh sebelumnya oleh kaum Khawarij. Meskipun demikian, sulit pula membenarkan pandangan yang umumnya
tersebar dalam media massa Barat bahwa radikalisme adalah ciri inheren Islam. Gerakan radikalisme keagamaan yang menyebar di hampir seluruh negara-negara
yang berpenduduk mayoritas Muslim tidak selalu memiliki kaitan antara satu dan lainnya. Perlawanan bersenjata yang dilancarkan
oleh kaum separatis Mindanao, misalnya, tidak memiliki hubungan dengan FIS. Begitu
pula gerakan radikal yang diprakarsai oleh duet Hasan Turabi-Jenderal Umar Hasan al 'Bashir di Sudan juga tidak ada hubungannya
dengan Revolusi Iran atau Mujahidin Afghanistan. Masing-masing gerakan memiliki agenda
dan konteks tuntutan sendiri.
KH Dr Tarmizi Taher
Ketua Dewan Direktur Center for Moderate Moslem
(CMM)
Selasa, 23
Desember 2003
http://republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=16