Mendudukkan Tradisi
Home
Budaya Modern dan Despiritualisasi (1)
Budaya Modern dan Despiritualisasi (2)
Kecerdasan Makrifat (1)
Kecerdasan Makrifat (2)
Mendudukkan Tradisi
Globalisasi dan Radikalisme (1)
Globalisasi dan Radikalisme (2)
Bahaya Globalisasi Neoliberal
De-Globalisasi
Hermeneutika dan Tafsir Alternatif
Perlukah Tafsir Hermeneutik?
Antara Nash dan Maqashid
Agama Sebagai Konsep Kognitif (1)
Agama Sebagai Konsep Kognitif (2)
Saddam-Bush: Head to Head

 

Mendudukan Tradisi
Oleh: Adian Husaini

 

Akhir-akhir ini banyak gagasan kreatif yang mencoba mengajak kaum Muslim untuk melakukan reformasi dan reevaluasi terhadap pemahaman klasik. Biasanya, gagasan klasik dikategorikan sebagai kuno, kolot, dan sebagainya; bahkan beberapa di antaranya dikonotasikan sebagai fundamentalis atau radikal yang menjijikkan. Atau, ada yang menyebut pandangan yang mempertahankan tradisi Islam sebagai Islam normatif, Islam utopis, tidak realistis, dan sebagainya.

 

Salah satu hal penting sebelum menilai atau menawarkan gagasan baru, harusnya terlebih dahulu melakukan evaluasi yang serius terhadap gagasan sebelumnya. Apakah gagasan lama itu benar-benar sudah tidak layak dipakai? Sejarah Islam menunjukkan, para ulama dan ilmuwan besar Islam, menjaga tradisi dengan sikap ilmiah yang tinggi. Bahkan mereka memelihara adab yang luhur dalam dunia ilmiah.

 

Tengoklah sosok al-Ghazali (m. 1111). Sebelum beliau memperkenalkan gagasan pembaharuannya (Ihya), beliau mempelajari dulu filsafat, kalam, dan tasawwuf, secara kritis dan menuliskannya dalam karya-karya tulis yang dapat dibaca orang. Karena itu kepakaranya di bidang filsafat, kalam, kesehatan, ushul fiqih, fiqih, tasawuf, pendidikan, dan sebagainya, membuatnya layak menggagas pembaharuan pemikiran.

 

Hingga kini, dunia Islam dan dunia Barat masih belum habis meneliti dan mengkaji ratusan karya al-Ghazali. Ribuan buku dan tesis ilmiah telah ditulis. Para orientalis dan ilmuwan Muslim masih terus-menerus menggali dan mendiskusikan karyanya, hingga kini. Sebagai contoh, seorang kyai di Gontor, menghabiskan waktu bertahu-tahun untuk melakukan riset hanya untuk meneliti teori kausalitas al-Ghazali.

 

Simaklah nama-nama ilmuwan besar Islam lainnya, seperti Fakhruddin al-Razi, yang menulis kitab-kitab besar di bidang kalam, tafsir, sains, dan sebagainya. Sebuah tesis di ISTAC-IIUM membuktikan, bahwa teori al-Razi tentang waktu lebih maju 500 tahun dibandingkan teori Newton. Siapakah ilmuwan di Indonesia yang benar-benar menguasai pemikiran Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibn Rushd, Fakhruddin al-Razi, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan sebagainya? Sudahkah pemikiran-pemikiran mereka dikaji secara serius dan dikembangkan dalam konteks peradaban Islam masa kini sebelum mengambil kesimpulan bahwa semua itu adalah kuno dan usang. Apakah framework kajian ilmuwan Muslim terhadap para ulama tersebut tidak terdistorsi oleh pemikiran orientalis yang memiliki cara pandang Barat.

 

Apakah sosok-sosok pemikir seperti Moh. Arkoen, Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, yang mengkritik ulama terdahulu dengan menggunakan framework filsafat Barat layak menggantikan mereka.

 

Sebutlah kasus Nasr Hamid Abu Zeid. Pemikir yang mendapat banyak hujatan dinegerinya sendiri dan lari ke Balanda itu, mendapat sambutan hangat dari para orientalis. Tapi kemudian ia malah muncul sebagai tokoh popular yang kini di Indonesia pemikirannya diagung-agungkan secara tidak kritis. Pendapatnya tentang al-Quran sebagai muntaj al-tsaqafiy (produk budaya), sebenarnya banyak mengandung kelemhan. Banyak pakar yang sudah menjawabnya. Salah satunya, Dr. Musthafa Tajudin, dosen di Universitas Islam Internasional Malaysia, yang pernah berdialog terbuka di Maroko dengan beliau. Menurut Musthafa karya Nasr, Mafhum al-Nas, sebenarnya bukanlah scientific book. Ia hanyalah mengungkapkan ide lama mutazilah, bahwa al-Quran hanyalah satu linguistic text. Padahal, kata Musthafa, al-Quran adalah wahyu dan sekaligus linguistic text. Al-Quran adalah Kalamullah. Karena itu, teks Al-Quran tidak bisa dipisahkan dari Allah, sebagai Dzat yang melahirkan al-Quran.

 

Ungkapan, bahwa al-Quran adalah a cultural product pernah diulas secara mendalam oleh Musthafa, dalam sebuah diskusi dengan mahasiswa Indonesia di Kuala Lumpur. Bahkan, hingga kini, ia masih menunggu Nasr Hamid untuk mengubah pendapatnya.

 

Kritik lain, yang diajukan Musthafa terhadap Nasr Hamid, adalah tentang selectivitas Nasr dalam memilih rujukan yang mendukung pendapatnya. Misalnya, ia mengecam al-Shafii, Ash_arie, dan menyanjung Mutazilah. Tetapi, karena sesuai dengan pendapatnya, dia mengutip al-Jurjani, yang adalah juga penganut mazhab Shafii. Dalam hermeneutika, dia menganut Gadamer, dan membuang jenis hermeneutika lain yang tidak sejalan dengan Gadamer -- misalnya yang dikembangkan oleh Umberto Eco, dan sebagainya.

 

Dengan menyatakan, bahwa al-Quran adalah produk Budaya, menurut Musthafa, maka Nasr Hamid bisa menafsirkan al-Quran dengan melepaskan text al-Quran dari Pengarangnya, yaitu Allah SWT. Al-Quran adalah Kalam Allah, karena itu, untuk memahaminya, maka harus dipahami, bahwa teks itu sendiri punya makna, bukan hanya diserahkan kepada pembacanya (reader). Maka, untuk memahami al-Quran, haruslah dipahami, bagaimana al-Quran itu sendiri menjelaskan maknanya, kemudian bagaimana Rasulullah saw memberikan penjelasan, dan bagaimana para sahabat Rasul memahami makna tersebut. Jadi, bukan teks itu dicabut dan disekulerkan, dipisahkan dari Allah SWT, lalu dipahami semata-mata secara produk budaya, yaitu sebagai teks bahasa semata.

 

Mendudukkan seseorang ilmuwan seperti Nasr Hamid, al-Jabiri, Hasan Hanafi, dan sebagainya adalah penting. Agar umat Islam juga kritis terhadap mereka. Singa haruslah ditempatkan sebagai singa. Jangan sampai kucing dipromosikan sebagai singa. Puyuh akan patah sayapnya, jika dipaksa terbang seperti elang.

 

Contoh lain, adalah al-Jabiri. Nama ini begitu popular di Indonesia. Mungkin melebihi popularitasnya di negeri asalnya. Berbagai bukunya diterjemahkan. Sayangnya, buku-buku al-Jabiri tidak diterbitkan bersama dengan buku-buku yang mengkritiknya. Sebagai contoh, bukunya Takwin al-Aql al-Araby, yang memuat analisis tentang sifat akidah Abu Hanifah yang dikatakannya sejalan dengan mutazilah, sangatlah perlu dikritisi. Juga, pendapatnya, bahwa kerugian terbesar bagi tradisi Arab adalah hilangnya buku-buku mutazilah pada tahap-tahap permulaan, sangat bisa diperdebatkan.

 

Mengapa sikap adil dan beradab sangat penting dalam dunia ilmiah? Jika seseorang berani bersikap kritis terhadap al-Syafii, al-Ghazali, Ibn Taimiyah, dan sebagainya, seyogyanya dia lebih berani bersikap kritis terhadap Arkoen, al-Jabiri, Nasr Hamid, Fazlur Rahman, Montgomerry Watt, William C. Chittik, Foucoult, Derrida, Wilfred C. Smith, Goldziher, Joseph Sacht, Arthur Jeffry, dan sebagainya. Sikap tidak kritis itu, misalnya, bisa dilihat bagaimana pengikut para pemikir modern dan orientalis itu enggan mengecek, meneliti, dan membandingkan rujukan-rujukan yang digunakan para tokoh idolanya. Artinya, dalam hal ini pun terjadi taqlid. Di sini kadang terjadi kejanggalan. Seseorang menolak taqlid kepada al-Syafii, tetapi kemudian taqlid kepada Josep Sacht dalam soal fiqih.

 

Adalah menarik menengok sosok-sosok ilmuan besar Islam terdahulu. Dengan segala kehebatannya dalam dunia keilmuan, tengoklah bagaimana sikap tahu diri seorang al-Ghazali. Beliau tetap menempatkan dirinya di bawah mazhab al-Syafii dalam soal metodologi ushul fiqih. Beliau tidak merasa lebih hebat dari al-Syafii.

 

Banyak ilmuan besar Islam yang tetap memelihara sikap adil dan beradab dalam mengkaji dan menyebarkan ilmu kepada masyarakat. Dalam tradisi ilmu hadith hal itu sangat terpelihara. Seseorang belum berani menyiarkan satu hadith, jika belum mendapat izin dari gurunya.

 

Dunia keilmuan Islam juga menjunjung tinggi akhlak dan moralitas. Seseorang yang didapati bermoral jahat tidak dipercaya lagi periwayatannya. Ini tentu sangat berbeda dengan tradisi keilmuan di Barat. Paul Johnson, dalam bukunya Intellecutals (1988), memaparkan kebejatan moral sejumlah ilmuwan besar yang menjadi rujukan keilmuan di Barat dan dunia internasional saat ini, seperti Ruosseau, Henrik Ibsen, Leo Tolstoy, Ernest Hemingway, Karl Marx, Bertrand Russel, Jean-Paul Sartre, dan beberapa lainnya. Ruosseau, misalnya, dicatatnya sebagai manusia gila yang menarik (an interesting madman). Pada tahun 1728, saat berumur 15 tahun, dia bertukar agama menjadi Katolik, agar dapat menjadi peliharaan Madame Francoise-Louise de Warens.

 

Ernest Hemingway, seorang ilmuwan jenius, tidak memiliki agama yang jelas. Kedua orang tuanya adalah pengikut Kristen yang taat. Istri pertamanya, Hadley, menyatakan, ia hanya melihat Hemingway sembahyang selama dua kali, yaitu saat perkawinan dan pembaptisan anaknya. Untuk menyenangkan istri keduanya, Pauline, dia berganti agama menjadi Katolik Roma. Kata Johnson, dia bukan saja tidak percaya kepada Tuhan, tetapi menganggap organized religion sebagai ancaman terhadap kebahagiaan manusia. (He not only did not believe in God, but regarded organized religion as a menace to human happiness).

 

Meskipun begitu, tradisi keilmuan di Barat masih menghormati tradisi mereka sendiri. Buku-buku sejarah mereka penuh dengan pengagungan tradisi mereka sendiri, yang bisanya dimulai dari tradisi keilmuan Yunani. Misal, buku World of Masterpieces, memuat karya-karya ilmuwan klasik yang dianggap sebagai pemikir besar oleh Barat, seperti Homer, Xenophanes, Thucydides, Euripides, Plato, Aristotle, Cicero, Catullus, St. Agustine, Dante, Erasmus, Niccolo Machavelli, dan sebagainya.

 

Tahun 2002, The Cranlana Programme di Australia, menerbitkan dua jilid buku berjudul Powerful Ideas: Perspective on Good Society. Buku itu menjadi panduan untuk mendidik para pemikir. Isinya berupa petikan-petikan pemikiran dari para pemikir yang mereka anggap besar dan penting untuk membangun masyarakat ideal yang mereka citakan. Para pemikir besar yang pemikirannya dijadikan bahan kajian adalah Sopochles (495-406 SM), Thucydides (460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle (384-322 BC), Confucius (551-479 SM), Mencius (371-289 SM), Xunzi (310-220 SM), Injil Matius, St. Agustine (354-430), Machiavelli, Thomas Hobes, John Locke, Ruosseau, Adam Smith, Imanuel Kant, Karl Marx, John Stuart Mill, dan seterusnya sampai Nelson Mandela, Martin Luther King Jr, Vaclav Havel, Edward Said, dan sebagainya.

 

Sebagai satu peradaban besar yang masih bertahan hingga kini, Islam juga memiliki akar sejarah dan tradisi intelektual yang khas. Biasanya setiap peradaban akan menulis sejarah peradabannya sesuai dengan perspektif mereka. Para ilmuwan Muslim seharusnya tidak mudah bersikap apriori terhadap tradisi Islam, dan mudah menghujat atau mengkritik para ilmuwan besar Islam tanpa melakukan kajian yang serius dan mendalam. Padahal kritikan mereka itu hanyalah membeo kritikan yang diajukan oleh orientalis.

 

Adalah sangat memprihatinkan, jika ada ilmuwan dengan mudahnya menyatakan, bahwa sudah saatnya kita meninggalkan kitab-kitab tafsir klasik, ushul fiqih, dan sebagainya, padahal ia sendiri bukan pakar dalam bidang itu dan tidak pula menyatakan itu berdasarkan kajian dan pemahamannya yang serius dan mendalam.

 

Para ilmuwan Muslim terdahulu juga bersentuhan dengan pemikiran dari kebudayaan asing, dan mereka juga mengadapsi pemikiran asing. Tapi tentu sesudah mereka menguasai benar tradisi intelektual dalam pandangan hidup Islam. Sehingga yang terjadi justru Islamisasi konsep-konsep asing. Demikian pula para pemikir Barat. Mereka mengambil pemikiran para cendekiawan Muslim dalam berbagai bidang, tapi kemudian mereka transfer kedalam pandangan hidup Barat dan terjadilah pembaratan. Oleh sebab pemikiran Barat, meskipun di antaranya berasal dari tradisi Islam, banyak yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma Islam. Dan untuk mengambilnya diperlukan perubahan paradigma, agar tidak merusak epistemologi Islam itu sendiri. Wallahu a'lam.

 

Adian Husaini, Mahasiswa PhD di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur

27 Desember 2003

http://www.republika.co.id/cetak_detail.asp?id=148849&kat_id=16