Agama
Sebagai Konsep Kognitif
(Bahagian Kedua)
Oleh : Kuntowijoyo
Meskipun konsep normatif lebih menguntungkan, karena bisa ditafsirkan sesuai zaman penafsir,
orang yang tak belajar konteks sejarah pada zaman konsep itu turun, konteks sejarah di masa lalu, dan konteks sosial-budaya
masa kini, akan kesulitan dengan penerapannya dalam masyarakat. Taruhlah konsep tentang dhu'afa dan mustadh'afun.
Siapa mereka? Fakir-miskin, yatim piatu, nelayan, petani, buruh-tani, dan buruh? Siapa yang lemah dan dilemahkan?
Mari kita ambil contoh lain, konsep mar-ah (perempuan) dalam fikih tradisional. Konsep gender (definisi femininitas dan maskulinitas ditentukan
oleh konteks sosial-budaya) tentu saja tak dikenal pada abad ke-7, dan penafsirlah yang harus bekerja. Berkat penafsiran baru
atas konsep mar-ah, sekarang kita sadar bahwa
penafsiran lama tentang penghambaan isteri pada suami, wanita yang bengkok tak terluruskan seperti iga, perempuan tidak bisa
menjadi pemimpin, dan lain-lain, adalah penafsiran orang dan bukan konsep Islam yang sebenarnya. Tetapi, mereka yang tidak
melihat konteks sosial-budaya waktu ajaran itu dikukuhkan dan konteks sejarah pemikiran tentang lelaki-perempuan tidak akan
dapat melihat kenyataan sosio-kultural yang aktual di negeri ini. Mereka tak akan dapat mengapresiasi gerakan feminisme Islam.
Pendek kata, belajar konsep-konsep normatif (tekstual) saja tidak cukup, kita pun harus belajar tentang kontekstualitasnya.
Harapan kita ialah supaya generasi muda memberikan penafsiran kontekstual dan aktual pada konsep-konsep normatif itu.
Konsep normatif dan kepribadian Islam
Ada dua cara untuk menjaga
supaya penafsiran konsep-konsep normatif tetap berkepribadian Islam sementara kita mengalami serbuan konsep-konsep non-Islam,
yaitu Islamisasi pengetahuan dan pengilmuan Islam. Pertama, islamisasi pengetahuan. Gerakan intelektual yang dimulai sejak
1982 melalui berbagai konferensi (konferesi pertama di Islamabad, salah satunya di Jakarta) ini memuncak dengan adanya The American Journal of Islamic Social Sciences (USA),
The International Institute of Islamic Thought
(USA), dan International Islamic University
(Malaysia) pada akhir 1980-an.
Oleh karena itu, generasi muda dapat mencontoh gerakan intelektual ini, yaitu mengembalikan pengetahuan yang sangat
aneh sekalipun kepada Islam. Ukuran tertinggi yang dipakai dalam Islamisasi pengetahuan ialah konsep normatif Islam. Islamisasi
pengetahuan mengandaikan bahwa ada khazanah ilmu non-Islam, lalu body of knowledge itu diberi kerangka Islam. Misalnya, "Islamisasi Antropologi", "Islamisasi
Seni-Visual", dan "Paradigma Ilmu Politik: Perspektif Islam". Jadi sudah ada konteks, lalu dikembalikan ke teks. Islamisasi
pengetahuan adalah gerakan dari konteks menuju ke teks (konteks --> teks).
Kedua, pengilmuan Islam. Dalam perkembangannya, islamisasi pengetahuan dan pengilmuan Islam
membaur, sekalipun sebenarnya prinsip keduanya pada mulanya berbeda. Pengilmuan Islam bermula dari teks, jadi pengilmuan Islam
adalah gerakan intelelektual untuk memberi konteks pada teks. Jelasnya, konsep-konsep Islam dihadapkan kepada realitas, sehingga
konsep-konsep itu memaknai realitas. Pengilmuan Islam adalah gerakan dari teks menuju konteks (teks --> konteks).
Kembali kepada Alquran dan sunah. Baik islamisasi pengetahuan maupun pengilmuan Islam adalah
ar-rujuu' ilaa al-Qur'aan wa as-Sunnah. Dahulu
ungkapan "kembali kepada Alquran dan sunah" dari Muhammadiyah --yang secara populer diterjemahkan jadi pemberantasan penyakit
TBC (taqlid, bid'ah, churafat) -- menyinggung
hati orang-orang NU ("mosok NU dibilang kena penyakit TBC"), dan kemudian "konflik" itu didamaikan dengan istilah khilafiyah.
Sekarang "kembali kepada Alquran dan sunah" dapat menjadi battle
cry bersama. Islamisasi pengetahuan dan pengilmuan Islam dapat memberi substansi baru pada gerakan "kembali pada
Alquran dan hadis", dan ajang baru kolaborasi NU-Muhammadiyah.
Penutup
Artikel ini bermaksud untuk "saling berwasiat" pada generasi muda NU dan Muhammadiyah,
agar mereka berpikir keras supaya umat secara keseluruhan tidak kehilangan identitas. Itu jauh lebih bermanfaat daripada membuat
"kejutan" berupa "pemberontakan". Umat sudah lelah dan frustrasi menghadapi sekularisasi dan hedonisme (ingat perusakan tempat-tempat
"maksiat") di dalam negeri serta tudingan sebagai teroris (Alqaidah, JI) dari luar negeri. Maka, generasi muda, tolonglah,
jangan berkenes-kenes dengan pikiran-pikiran aneh. Sebagai perbandingan konsep-konsep non-Islam memang diperlukan, tapi hanya
jadi pengetahuan bantu dan jangan sampai menggantikan konsep Islam. Tulisan-tulisan tentang Islam (baik dari orang Islam maupun
non-Islam) selama hanya menyangkut deskripsi semuanya baik-baik saja, tetapi kalau sudah soal judgment perlu diwaspadai.
Ada baiknya kalau generasi muda mempergunakan kecerdasan untuk memberikan konteks dari
konsep-konsep normatif Islam. Misalnya, untuk generasi muda NU lebih baik memberikan konteks bagi konsep pendidikan Islam
daripada berpikir tentang "konsep pendidikan Paulo Freire". Lebih bermanfaat untuk berkeringat bersama sapi di ladang jagung Madura dan berpikir ke
arah pesantren industri manjelang industrialisasi. Seperti diberitakan Jembatan Suramadu akan segera dibuka, dan itu berarti
industrialisasi tepat di jantung umat Islam, Madura. Bagi intelektual muda Muhammadiyah: Apakah konsep keluarga sakinah dapat
diperluas pengertiannya menjadi jamaah sakinah? Jika demikian pasti tidak ada rasa teralienasi (terkucilkan)
bagi kaum dhuafa. Itulah salah satu arti dari doa sehari-hari, Rabbanaa aatinaa....
Jadi artikel ini mengusulkan bagaimana kalau intelektual muda NU Menggagas Pesantren Industri. (Di lingkungan Katholik
ada semacam "pesantren" industri di Solo, di Bogor ada pesantren pertanian, dan pada 1970/1980-an banyak pesantren mengusahakan
ternak ayam, sehingga kiai secara berkelakar disebut sebagai sayyidul ayam -- plesetan dari kata sayyidul
ayyam, pemimpin hari-hari, hari Jumat). Dan bagaimana kalau JIMM melangkah lebih jauh dari bapak-ibunya dalam
dakwah amar ma'ruf nahi munkar dengan Menggagas
Jamaah Sakinah. Untuk bentuk solidaritas sosial terkecil dari umat (jaminan rasa aman sosial-ekonomi di luar satuan keluarga
dan extended family) itu kita dapat belajar
bahkan dari konsep yang berasal dari "musuh-musuh" Islam seperti "kibbutz" (Yahudi, pertanian kolektif) dan "commune" (Komunis, masyarakat kecil, terorganisir ketat secara kolektif); serta desa tradisional (Jawa,
komunitas kecil berasas gotong-royong, closed corporate
community). Konsep jamaah tidak boleh hanya berhenti pada "jamaah shalat", tetapi harus berkembang jadi "jamaah
sosial-ekonomi".
Akhirnya kita percaya bahwa "sawan kekanak-kanakan" generasi muda itu hanya gejala sementara, dan orang-orang muda akan
terserap kembali kepada mainstream. Allahu a'lam bi as-shawaab.
http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=147241&kat_id=16
Selasa, 09 Desember 2003