Kecerdasan Makrifat (2)
Home
Budaya Modern dan Despiritualisasi (1)
Budaya Modern dan Despiritualisasi (2)
Kecerdasan Makrifat (1)
Kecerdasan Makrifat (2)
Mendudukkan Tradisi
Globalisasi dan Radikalisme (1)
Globalisasi dan Radikalisme (2)
Bahaya Globalisasi Neoliberal
De-Globalisasi
Hermeneutika dan Tafsir Alternatif
Perlukah Tafsir Hermeneutik?
Antara Nash dan Maqashid
Agama Sebagai Konsep Kognitif (1)
Agama Sebagai Konsep Kognitif (2)
Saddam-Bush: Head to Head

 

Jumat, 16 April 2004

Kecerdasan Makrifat

Bagian Terakhir dari Dua Tulisan


Oleh :Abdul Munir Mulkhan
Anggota PP Muhammadiyah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta


Dalam rasio keberlangsungan, MaQ ialah evolusi lanjut rasio modernitas. IQ (Intelligence Quotient) kerja dari logika formal, EQ (Emotional Quotient) dari logika material, SQ (Spiritual Quotient) dari hermeneutik, MaQ ialah kerja dari intuisi kasyf. Jika EQ syarat kerja efektif IQ, SQ bagi EQ (Zohar, 2003), maka MaQ ialah syarat efektivitas IQ, EQ, dan SQ. Manusia diberi arti mikro-kosmos (Burckhardt, 1984) yang lewat ruhnya segala wujud dipertali-hubungkan bebas dinamika bendawi yang habis-bagi. Dari sini dikembangkan peradaban dunia yang makmur berkemajuan bagi semua orang di semua kawasan.

 

Kekuasaan politik dan ekonomi dimaknai amanah yang atas nama Tuhan semua orang berhak memperoleh manfaat (Husaini, 1983). Kesejahteraan ekonomi diukur bagi totalitas kemanusiaan, alat produksi didistribusi menurut perwalian ketika yang lemah berpeluang hidup sejahtera. Inilah biaya manusiawi (Berger, 1982) yang diperhitungkan dalam tiap proses produksi, yang disebut teori ekonomi harapan rasional. Keuntungan bukan dicari dari ketimpangan hasil distribusi, tetapi sebagai hasil bersih pemerataan produksi secara adil.

Kemajuan ekonomi dan keadilan bisa dicapai ketika distribusi bukan dipahami sebagai pengeluaran, tetapi bagian keuntungan. Ekonomi tidak sekadar hubungan produksi, tetapi fungsi metafisis kesalehan, hingga martabat pribadi ditransendensi pada hak-hak sosial dalam perspektif iman (tauhid). MaQ adalah kekuatan yang bisa mendorong manusia dan lembaga modern (negara) menahan diri sekaligus "memaksa"-nya berlaku adil secara sistematis. Kemampuan membebaskan diri dari perangkap materi lebih terbuka ketika seseorang memiliki MaQ yang hanya ada di dalam tradisi sufi. MaQ bisa berarti hidayah Tuhan sebagai hal (keadaan mental), tapi bisa berarti sebagai perolehan akal (intuisi intelek). Arti kedua lebih mungkin dipakai sebagai epistemologi pendidikan makrifat yang terstruktur secara metodologis dalam MaQ.

 

MaQ berakar epistemologi kesatuan wujud dari ontologi jagad raya parsial yang dipahami sebagai universum organisme hidup di dalam sintesa hierarkis. Manusia ialah mikro-kosmos sebagai puncak evolusi-sintetik alam dengan dua unsur dasar: ketubuhan dan ruh (sejenis psike dalam pemikiran modern). Ruh mempertalihubungkan alam dan realitas metafisis di mana Tuhan menempati posisi tertinggi. Mulla Shadra menyatakan bahwa hanya di puncak kebebasan manusia atas realitas bendawi, pengetahuan tertinggi seperti itu bisa diperoleh. Dalam jiwa manusia tersedia kemampuan intelek yang bisa berkembang menjadi intuisi sebagai alat memahami wujud sintetik jika bebas dari mekanisme bendawi. Inilah yang disebut pengetahuan langsung (Rahman, Shadra, 2000) yang dikenal sebagai ilmu hudluri.

 

Pengetahuan tentang kesatuan wujud di atas mungkin ketika lewat emanasi (nadlaariat al-faidl) empat sifat realitas; inderawi, rasional, filosofis, dan metafisis tersusun dalam hierarki sistemis (Nasution, Falsafat, 1978). Keempatnya merupakan sifat; benda fisik, energi, idea (ruh murni atau jiwa), dan Tuhan (Mulkhan, Mencari, 1992). Hierarki wujud (maraatib al-maujuudaat) dalam pandangan Al-Farabi meliputi: benda bumi, benda langit, malaikat, dan Tuhan. Hubungan realitas bendawi dan ruhani bisa dipahami sebagai mutasi benda ke energi (idea). Cahaya (energi) lahir dari gerak cepat benda fisik menyentuh partikel udara. Daya intuisi (kasyf) lahir dari proses serupa ketika kerja rasio bebas dari mekanisasi bendawi. Sintesis kerja unsur; benda bumi, langit, dan malaikat, sehingga manusia berpeluang berhubungan dengan semua realitas dan realitas tertinggi Tuhan.

 

Diperlukan pemahaman berbeda sesuai sifat empat realitas di atas dengan tingkat kebenaran berbeda, tapi terhubung secara sistematis dan hierarkis. Pengetahuan makrifat tentang realitas metafisis yang diperoleh melalui kasyf (intuisi), kadang disebut irfan (Al-Syaibany, 1979) meliputi pengetahuan atas tiga tingkat realitas di bawahnya. Sistem pengetahuan sufisme memungkinkan seseorang memahami realitas tertinggi tersebut (musyaahadah dan mukaasyafah).

 

Kasyf adalah kerja intelek yang disebut Suhrawardi sebagai mekanisme aktivitas hudluri (Yazdi, 1994). MaQ dipahami sebagai bukan hal yang tiba-tiba muncul di luar kerja intelek, tetapi ilmu perolehan. Dalam bahasa berbeda situasi berpengetahuan makrifat disebut Shadra evolusi-kontinu intelek yang menempatkan seluruh tingkat pengetahuan sebelumnya di dalam kesatuan sintetik yang baru yang saya sebut sebagai 'kecerdasan makrifat' (MaQ).

 

Persoalannya, bagaimana menyusun pengetahuan sufistik itu ke dalam sistem kebenaran yang kompatibel dan bisa berdialog dengan rasio modernitas. Untuk itu, realitas ruhaniah-metafisik tidak ditempatkan di luar objek seperti model rasio modernitas yang dibatasi di tiga tingkat realitas. Sufisme memandang realitas ruhaniah-metafisik sebagai objek telaah ilmu makrifat dengan alat intelek yang disebut kasyf atau intuisi. Makrifat dalam tradisi sufi diperoleh melalui kasyf (intuisi) sesudah proses intelek inderawi, rasional, filosofis, yang bekerja serentak dan sistematis. Namun, tanpa kritik historis dan tanpa tiga proses intelek, kerja kasyf melahirkan pengetahuan mistik. Sifat personal dan subjektif menyebabkan pengetahuan mistik itu tidak mungkin dipelajari dan disistematisasi ke dalam struktur berpikir ilmiah.

 

Pengetahuan makrifat sulit diperoleh rasio modernitas ketika berhenti pada realitas material. Rasio modernitas sebagai dasar pendidikan modern meletakkan ketuhanan di luar objek. Namun modernitas menyediakan fundamesi dari kerja MaQ dalam sistem kesadaran afektif (Miller, 1976) atau dalam critical consciousness (Freire, Education, 2000). MaQ ditempatkan sebagai hasil dari proses rasio ilmiah yang diletakkan di dalam kerangka kritik. Karena itu, kesadaran kritis posmodernisme yang bebas dari positivisasi ialah jalan baru pengembangan MaQ. Metodologi kritis ialah pengantar pemahaman atas realitas metafisik sebagai objek tertinggi. Dari sini empat hierarki rasio modernitas diberi makna baru melalui kasyf dalam tradisi sufi dengan meletakkan alam malakut sebagai hierarki kelima.

 

Selanjutnya, berdasar epistemologi makrifat tersebut di atas dikembangkan pendidikan makrifat. Melalui pendidikan makrifat, pendidikan modern yang terbatas pada IQ, EQ, dan SQ, dicerahi. Pendidikan makrifat merupakan kritik pendidikan modern dengan pengkayaan sintesis kompetensi ego personal dan sosial, ranah material dan ruhaniah metafisik. Dari sini ide pendidikan kritis dan transformatif bisa dijadikan titik awal pendidikan makrifat jika ditransformasi pada ranah ruh metafisik. Pendidikan kritis tidak dibatasi hanya di tujuan-tujuan material bidang ekonomi, sosial, dan politik. Pengembangan iptek tidak dibatasi hanya pada empat realitas, tetapi diletakkan dalam keterhubungan dengan realitas ketuhanan.

 

Pendidikan makrifat meletakkan pemahaman atas manusia tak terbatas pada ranah ketubuhan dan psykhe material, tetapi sebagai wahana ruh. Melalui ruh itulah dinamika ketubuhan dan psykhe material dipertalihubungkan pada kasyf yang membuka peluang manusia bersentuhan dengan wilayah ketuhanan. Inilah yang disebut 'Athiyah Al-Abrasyi (1977) sebagai berpikir bebas-mandiri dalam pendidikan yang saya sebut berbasis MaQ.

 

Kesimpulan


Dalam buku Ushul al-Fikr al-Tarbawi fi al-Islam, terbit tahun 1987, Dr 'Abbas Mahjub menjelaskan bahwa pendidikan Islam merupakan terjemah transformatif Filsafat Islam tentang wujud; alam semesta, materi, dan ruh. Pendidikan (Islam) adalah proses integrasi peradaban Islam dan dunia, humanitas, persaudaraan, toleransi, dan seni. Pendidikan merupakan ikhtiar bebas manusia dalam memecahkan berbagai problem kehidupan dunia.

 

MaQ ialah fungsi dari intuisi intelek sebagai sintesis tertinggi realitas fisis ketubuhan, energi, dan ruh. Dalam dirinya, manusia memiliki kemampuan intelek dengan intuisi sebagai sintesis akhir. Melalui intuisi (kasyf) sebagai evolusi-kontinu intelek manusia bisa memahami seluruh wujud realitas sebagai dasar kesadaran afektif tentang kesatuan sintetik wujud dan tanggung jawab sosialnya. Dari situlah Hossein Nasr (1994) menyatakan bahwa sistem pendidikan otentik tecermin dari tradisi intelektual Muslim klasik yang pada masanya melahirkan karya-karya besar. Filsafat pendidikan bisa dibangun dari tradisi intelektual tersebut. Namun tradisi itu memerlukan pentubuhan baru sejarah, sehingga mampu berdialog dengan peradaban modern.

 

Pentubuhan tersebut ialah evolusi sejarah ke tahapan ilmu. Keterkungkungan ideologis ilmu-ilmu keislaman diobjektivikasi sehingga menjadi ilmu (objektif). Langkah ini dilakukan dengan meletakkan seluruh tafsir Islam sebagai ilmu yang bisa dikritik dan berdialog dengan rasio modernitas. Tafsir Islam diletakkan di dalam tubuh sejarah, sebagai kritik spiritual atas rasio modernitas, sehingga peradaban modern bisa dibebaskan dari perangkap materialisasi ketubuhan.

 

Melalui pentubuhan sejarah atas tafsir Islam kesalehan Islam berevolusi etis dari magis (Weber, 1972; Mulkhan, Islam, 2002). Kesalehan etis ialah ketika praktik Islam dikembangkan sebagai praksis kemanusiaan. Dari sini MaQ diberi makna objektif dan etis sehingga kesadaran ketuhanan bisa mendorong aksi-aksi praktis bagi kesejahteraan dan perdamaian kemanusiaan universal. Dalam pengertian itu, MaQ adalah kecerdasan rasional yang bebas materialisasi yang memungkinkan intuisi (kasyf) bekerja. MaQ ialah keberlangsungan (kontinu) rasio modernitas yang tidak berhenti pada mekanisme ketubuhan, tapi akumulasi seluruh aksi kecerdasan. Inilah yang disebut Henry Bergson sebagai evolusi kreatif yang dipahami dengan kontinuitas intelek dalam intusi. MaQ ialah puncak kecerdasan dalam struktur objektif, sehingga pendidikan makrifat mungkin.

 

Dunia tidak dipahami dalam posisi pertentangan, tapi sebuah sintesis hierarkis. Pendidikan makrifat bertujuan melahirkan suatu kepribadian yang bebas perangkap material yang terbatas dan habis-bagi, sehingga manusia bisa mengembangkan imajinasi-kreatif-bebasnya. Pendidikan kritis diletakkan sebagai awal dari transformasi pendidikan makrifat sehingga manusia bebas dari struktur konflik antara ego personal dan kesadaran sosial.

 

Dalam pengertian di atas MaQ ialah sintesis IQ, EQ, dan SQ. MaQ tidak berada di luar rasio modernitas, tetapi evolusi-kontinu kritik rasio modernitas. MaQ adalah kritik atas posmodernisme yang belum bisa benar-benar bebas dari dinamika ketubuhan dan yang meletakkan metafisika di luar problem epistemologi. Rasionalitas yang bebas dari perangkap mekanisme dinamika ketubuhan akan membuka peluang bekerjanya intuisi, sehingga pemikiran manusia berada di dalam keberlangsungan memasuki ranah metafisis, ruhaniah, dan ketuhanan. Intuisi bersifat objektif karena ia merupakan tahap lanjut kritik rasio yang bisa dilakukan setiap orang jika bisa bebas dari perangkap ketubuhan material.

 

MaQ ialah kemampuan memperoleh kebenaran kasyf hingga seseorang memperoleh pencerahan (mukaasyafah) dan mencapai musyaahadah yang membuka batas-batas pengetahuan material modernitas. Dari sini imajinasi-kreatif-bebasnya manusia tumbuh, sehingga bebas dari perangkap konflik ego personal. Adalah tugas bersama menyusun sistem pendidikan makrifat yang meletakkan semua pengalaman intelek modernitas dan intelek Islam dalam hierarki sintetik ilmu dan hierarki sintetik tahapan pendidikan.

 

(Dirangkum dari pidato pengukuhan sebagai guru besar Filsafat Pendidikan Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 30 Maret 2004)

 

http://republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=158339&kat_id=16, 16 April 2004