Globalisasi
dan Radikalisme
(Bagian
terakhir)
Oleh : Tarmizi Taher
Berdasarkan uraian dari tulian pertama kemarin, tampak bahwa radikal dalam sejarah
Islam memiliki agenda yang berbeda-beda. Secara ideal mereka memang berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran agama secara menyeluruh, tetapi metode dan pemahaman atas
teks suci serta imperatif-imperatif yang dikandungnya saling berbeda. Memasuki fase abad ke-19, suasana dunia berubah dan
menurut suatu respons yang lebih luas. Pada masa ini Barat telah muncul sebagai kekuatan dunia yang telah mendominasikan keberadaan
Muslim. Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani dan Rasyid Ridha adalah manifestasi dan realitas Muslim yang merasa supremasi
tersebut. Agenda pembaharuan Islam pun berkembang dari persoalan
internal menuju eksternal. Di satu sisi, para tokoh reformis tersebut masih sibuk dengan yang dihadapi kalangan revivalis
lain. Di sisi lain mereka juga harus menghadapi tantangan revivalis, serta mereka harus pula menghadapi tantangan dari luar,
yaitu modernisme.
Kenyataan historis menunjukkan bahwa pada periode sesudahnya, Islam tidak saja kalah,
tetapi juga kehilangan posisinya di tengah masyarakat. Pada saat yang sama dominasi politik, ekonomi dan kultural Barat melaju tidak terbendung dan meminggirkan
posisi Islam. Dalam konteks inilah gerakan kebangkitan Islam yang tadinya mengambil jalur kultural dan teologis berubah menjadi
gerakan politik dan ideologis. Meskipun sama-sama menghendaki kebangkitan Islam, kalangan radikalis cenderung bersikap reaksioner
dan idealistik.
Peneguhan Islam dilakukan melalui penolakan terhadap
non-Islam (Barat), dan realitas historis kejayaan Islam dipakai sebagai ideologi alternatif bagi masyarakat. Kasus-kasus negara
berpenduduk mayoritas Muslim menunjukkan bahwa idiom-idiom agama sering dipakai sebagai alat untuk mengekspresikan ketidakpuasan
sosial, ekonomi dan politik. Hal ini wajar, karena Islam telah menyediakan simbol-simbol tersebut masih terasa efektif sampai
masa modern kini. Dengan demikian, raison d'etre untuk menegakkan Islam tampaknya tidak hanya dimotivasi oleh imperatif
teologis, tetapi juga didorong oleh perjuangan mendapatkan kembali identitas kultural serta historis. Mungkin karena sebab
ini, masyarakat Muslim yang tidak menjadi bagian dari kejayaan Islam, seperti Indonesia, tidak begitu terobsesi untuk meraih
kembali masa keemasan Islam tersebut, dan lebih bersikap terbuka bagi akomodasi kultural dengan masyarakat dunia lain, termasuk
Barat.
Hampir semua kasus radikalisme keagamaan menunjukkan
bahwa kemunculan mereka senantiasa berhadapan dengan Barat. Eksperimen bermacam-macam, mulai dari oposisi terhadap rezim yang
dianggap sekuler, kapitalisme yang dipandang eksploitatif sampai kebebasan hubungan lain jenis yang diyakini amoral. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa peradaban modern yang saat ini diterapkan oleh masyarakat di seluruh dunia belum mampu mengakomodasikan
kepentingan radikalisme.
Namun demikian, kalangan radikalis juga tampak kesulitan
untuk menerima kecenderungan global yang mengatur hubungan antar bangsa. Bila perbedaan ini tidak dapat dijembatani, kekerasan
dan ketidakpuasan akan terus merebak. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa di masa mendatang, pluralisme dan interdependensi
antarmanusia merupakan prinsip sosial yang tidak bisa lagi ditolak. Oleh karenanya, dialog dan kesediaan untuk saling berbagi
tetap merupakan keharusan bagi lancarnya penerapan prinsip-prinsip kebersamaan tersebut.
Mengerti radikalisme masa depan
Sebenarnya, kata radikal berasal dari kata radix
yang berarti akar. Berpikir secara radikal sebenarnya berarti berpikir sampai ke akar-akarnya akan sampai kepada hakikatnya,
namun berpikir secara radikal akhirnya berpikir antikemapanan. Apa saja yang berarti kemapanan itu, tentu saja kemapanan pertama
dan utama adalah agama. Kebenaran agama mulai diobok-obok sampai kepada dasarnya, yaitu ketuhanan, akidah atau teologi kitab
Alquran adalah kitab yang paling siap menantang pikiran-pikiran radikal itu. Kitab suci yang lain mengalami pengobok-obokan
pikiran radikal itu tampak kebingungan. Misalnya apakah Tuhan itu laki-laki atau perempuan? Akhirnya Tuhan mereka matikan
di Barat, maka kebebasan sudah tidak ada lagi batasnya, semua pagar dan pematang dilewati dan dihancurkan, terbentulah ''masyarakat
semau gue'' di mana keluarga atau rumah tangga sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman, maka lembaga keluarga atau keluarga
dihilangkan sebagai lembaga keagamaan yang suci bagi perjalanan kemanusiaan dalam keturunan.
Lengkaplah pemikiran masyarakat modern meninggalkan
agama dan keluarga. Namun umat beragama di seluruh dunia tidak mau ditelan atau dihancurkan modernisasi. Kata intelektual
agama, modernisasi bukan westernisasi, gelombang pikiran menentang dampak samping modernisasi sangat kuat untuk survivenya
umat beragama. Ternyata era 80-an timbul kebangkitan kembali agama-agama, sebagai yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Modernisasi berhasil memudahkan kehidupan manusia,
tapi tidak membawa manusia dan keluarga serta masyarakat kepada kebahagiaan hidup spiritual malahan membawa manusia kepada
kekacauan dan kegalauan kehidupan. Radikal berawal dari pemikiran yang tidak mau mengakui kebenaran pemikiran kelompok lain,
menurutnya yang benar hanya mereka saja. Kebenaran agama hanya untuk orang-orang kuno dan ketinggalan zaman. Karena itulah,
hipotesis yang saya ajukan adalah menuju ummatun Wasatho sebagaimana perintah Allah dalam surat Al Baqarah 143, alatnya
pikiran, bukan senjata. Pilihan kaum Muslimin adalah keseimbangan hidup material dan spiritual.
Menyusupi pikiran Islam
Ummat Islam yang hidup dalam kemiskinan dan kebodohan
serta ketidakadilan adalah lahan subur untuk berpikir secara radikal. Dalam bahasa mudahnya mengapa perlu berpikir susah seperti
para ulama membaca kitab-kitab. Mari kita hitam-putih, teman dan lawan, kita dan mereka.
Mulailah dipelintir kata-kata penting dalam Islam.
Misalnya jihad dan syariat serta beragama yang kaffah dari pengertian yang tidak lengkap. Konflik-konflik di Timur Tengah
adalah tempat asal penyusupan pikiran radikal bagi umat Islam, karena ulah elite politik di sana yang kurang menunjukkan
prilaku yang Islami. Ulah elite politik di sana, ternyata awal kehidupan Muslim
di masyarakat Barat juga tidak mudah karena tidak siap berkompetisi. Penderitaan demi penderitaan telah mengentalkan perasaan
permusuhan dengan lingkungan. Kebebasan berpikir di Barat telah digunakan secara baik untuk membina berpikir radikal dalam
kelompok itu adalah peristiwa 11 september 2001, yang mengagetkan dunia
termasuk dunia Islam.
Deretan panjang bom-bom di Maroko, Ryadh, dan Bali
menyadarkan umat Islam, khususnya ulama dan intelektualnya bahwa radikalisme pikiran telah berbentuk perbuatan. Pikiran menentang radikalisme mulai disuarakan oleh pimpinan tertinggi Al-Azhar
Mesir, Syaikul Akbar Mohamamd Sayid Thanthawy, Raja Fahd, PM Mahathir Muhammad. Kata Syaikul Azhar, radikalisme tidak ada
hubungannya dengan agama dan dakwah ini adalah gerakan, politik yang mencoreng dan mencederai Islam.
Asia Tenggara sebagai kawasan ummat Islam
yang hidup dengan kemajemukan agama, politik dan ekonomi, dikatakan oleh para ahli Islam kawasan yang less Arabized,
telah terpanggil menentang radikalisme. Pertemuan-pertemuan diadakan dari perguruan tinggi sampai kepada tabligh-tabligh akbar
untuk menentang diubahnya. Islam sebagai rahmatan lilalamin menjadi laknat lil alamin. Islam sebagai agama yang
tercepat tersebar berkembang di seluruh dunia menjadi terdakwa di mana-dimana, khususnya minimal menjadi ''tersangka'' di
banyak tempat di Barat. Alhamdulillah, kampus dan intelektual Barat yang berpikir secara kemanusiaan dapat membebaskan atau
meminimalkan syak-wasangka tersebut. Inilah, saya kira, saat yang baik bagi kita semua untuk sama-sama membangun citra Islam
yang baik dan damai.