Agama Sebagai Konsep Kognitif (Bagian Pertama)
Oleh : Kuntowijoyo
Tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab generasi muda
pada banyak ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, menunjukkan gejala positif. Ada serangkaian pertemuan oleh generasi muda NU (sejauh ini kita belum tahu namanya) dan
ada JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Gejala positif itu perlu disambut dengan penuh harapan, karena berarti
ada kesinambungan sejarah. Akan tetapi, orang-orang yang lebih dewasa dengan jam terbang lebih banyak dalam pergumulan keagamaan
perlu siap-siap dengan "saling berwasiat untuk tetap dalam kebenaran" --diminta atau tidak -- agar mereka tidak kebablasan.
Sebab, setiap ada "pemberontakan" mestilah timbul gejala "sawan kekanak-kanakan" -- meminjam istilah Lenin -- yang berupa
cara berpikir "kekanan-kananan" (sok liberal) atau "kekiri-kirian" (sok radikal). Coba simak apa yang sedang mereka pikirkan:
"Islam kiri", "Islam liberal", "Islam proletar", "Islam borjuis", "konsep pendidikan Paulo Freire", dan entah apalagi.
Berkat kemudahan-kemudahan
dalam penerbitan, kebanyakan pikiran-pikiran yang thrilling (menggetarkan) itu tersebar. Kita berharap jangan sampai
generasi muda itu terjebak ke dalam ideolatry (pemujaan gagasan), sebab menurut Erich Fromm 'siapa yang menolak otoritas
Tuhan, akan terpaksa menerima otoritas lain'. Tidak ada orang waras yang merdeka seratus persen. Oleh karena itu, "saling
berwasiat" dibutuhkan untuk menjaga supaya mereka yang potensial itu tetap memakai ukuran-ukuran agama, dan tidak memakai
parameter yang lain. Jangan sampai mereka tidak sadar akan apa yang sedang mereka kerjakan, dan terpeleset ke dalam konsep
non-Islam atau bahkan anti-Islam.
Konsep dan peran kognitifnya
Seperti diketahui
konsep-konsep menentukan cara pandang dan cara pikir. Kita tahu dari sosiologi pengetahuan dan ilmu budaya bahwa orang melihat
realitas itu tidak pernah secara langsung, tapi melalui tabir berupa simbol-simbol (konsep, kata, budaya) yang dimiliki. Demikianlah,
orang Islam akan melihat realitas melalui simbol berupa konsep Islam, orang non-Islam memakai konsep non-Islam, misalnya dari
isme-isme lain. Isme-isme lain itu ialah ideologi, filsafat, dan aliran ilmu. Ideologi (seperti nasionalisme, liberalisme,
demokrasi, marxisme, sosialisme, dan komunisme), filsafat (seperti positivisme, pragmatisme, eksistensialisme, dan neo-konservatisme),
dan aliran ilmu (seperti darwinisme, freudianisme, dan behaviorisme). Mereka juga menyediakan konsep-konsep untuk memahami
realitas.
Bagi orang Islam konsep-konsep
lain itu bisa menyesatkan, tapi sebaliknya juga dapat membantu. Orang Islam dapat belajar bagaimana mereka melihat realitas.
Orang Islam yang tidak pernah belajar marxisme ("sejarah terdiri dari kelas penindas dan kelas tertindas") tidak tahu adanya
kemiskinan struktural dalam masyarakat. Mereka yang tidak sadar akan positivisme ("puncak perkembangan kemanusiaan ialah pikiran
manusia") tidak akan mewaspadai adanya gejala yang mengagungkan pikiran manusia. Mereka yang tidak belajar freudianisme ("agama
adalah ilusi yang harus diberantas") tidak akan menyadari adanya praktik keagamaan yang membelenggu manusia dan bukannya membebaskan.
Tetapi, orang Islam yang
kaffah tidak akan menganggap konsep-konsep non-Islam itu sebagai nilai kebenaran tertinggi yang menentukan, hanya sebagai
pendamping agama untuk memahami realitas. Berdasarkan konsep kognitifnya, seorang Muslim yang kaffah tidak bisa mengatakan,
"Sebagai pribadi agama saya Islam, tetapi sebagai politisi saya penganut sekularisme, sebagai anggota parlemen saya menganut
demokrasi, sebagai pedagang saya menganut pragmatisme, dan sebagai orang LSM saya penganut marxisme". Agama hanya dipandang dari aspek ritual, bukan sebagai identitas diri
yang utuh. Karenanya, kita perlu mengintegrasikan kekayaan khazanah pemikiran kemanusiaan -- bahkan yang sangat anti-agama
-- dengan agama. Akan tetapi, bila terjadi perbenturan nilai antara keduanya, kita harus memilih agama. Sebenarnya, adanya perbenturan
nilai itu akan sangat jarang terjadi dalam masalah keduniaan. Kita ingat kaidah, "Dalam urusan ibadah, semua dilarang kecuali
yang diperbolehkan. Dalam urusan muamalah, semua diperbolehkan kecuali yang dilarang".
Konsep normatif dan kontekstualitas
Konsep-konsep dalam
Alquran itu abadi (dalam waktu) dan universal (dalam tempat), artinya tidak merujuk pada sistem sosial tertentu: masyarakat
pra-industrial, masyarakat industrial, atau masyarakat pasca-industrial. Sementara itu ideologi-ideologi selalu merujuk ke
sistem sosial tertentu. Marxisme (Ortodoks), misalnya, sebenarnya semula diperuntukkan bagi masyarakat industrial (kemudian
oleh Mao Zedong diterapkan pada msyarakat agraris-praindustrial). Manifesto Komunis (1848) dengan jelas menyebut-nyebut kaum
proletar sebagai andalan perjuangan, "Marxisme adalah senjata ideologis kaum proletar". Buruh melawan kapitalis, proletar melawan borjuis, dalam suatu "kontradiksi yang tak
terdamaikan". Lihat! Dengan jelas marxisme merujuk pada kelas-kelas sosial pada masyarakat industrial, buruh dan kapitalis,
proletar dan borjuis. Apakah ideologi abad ke-19 untuk masyarakat industrial itu masih cocok untuk masyarakat pascaindustrial?
Untuk masyarakat rasional -- masyarakat yang dikelola dengan manajemen rasional? Untuk masyarakat abstrak -- masyarakat yang
diatur oleh sistem? Tidak, marxisme sebenarnya sudah terbukti salah sebelum secara resmi Uni Soviet membubarkan diri pada
1989. Sosiologi industri mengajarkan bahwa menjadi buruh di pabrik-pabrik dalam sistem kapitalis dan sistem komunis itu sama
saja: disiplin, spesialisasi, hierarki dalam pabrik, dan perbedaan skala gaji. Fungsionaris partai dalam sistem komunis sama
saja dengan para pemilik modal dalam sistem kapitalis. Selanjutnya, kita juga belajar bahwa pabrik-pabrik dalam sistem kapitalis
dan sistem komunis itu sama saja: keduanya adalah perusak lingkungan. Itulah sebabnya kini di Eropa berdiri banyak Partai
Hijau. Orang lalu berpendapat bahwa ideologi-ideologi tidak ada gunanya, the end of ideology, berakhirnya ideologi.
Maka, kita justeru perlu konsep-kosep normatif yang
tidak merujuk ke suatu zaman dan masyarakat tertentu, yang "tak lekang di panas, tak lapuk di hujan". Ambillah contoh konsep
normatif zhalim. Zhalim bisa dikenakan sistem (seperti absolutisme, diktatorisme, otoritarianisme), institusi
(seperti zionisme, fasisme), perilaku sosial (seperti perang yang merusak aset-aset produktif, pembagian kemakmuran yang timpang),
orang (seperti Fir'aun, Mussolini, pemilik modal yang hanya mengejar keuntungan semata, dan pejabat yang karena korupsinya
membuat sengsara rakyat), dan bahkan diri sendiri (bertapa dalam kubur selama sekian hari, ngebleng [tidak makan selama
sekian hari]). Selanjutnya, konsep-konsep normatif, seperti amanah, rizq, 'adl, fasiq, riba, dan syura, dapat
kita baca pada buku M Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta:
Paramadina, 1996). Dalam buku itu akan kita lihat konteks sosial-budaya turunnya ayat (ashbabun-nuzul), konteks sejarah masa lalu,
dan konteks masa kini.
http://www.republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=16
Senin, 08 Desember 2003
|