De-Globalisasi
Home
Budaya Modern dan Despiritualisasi (1)
Budaya Modern dan Despiritualisasi (2)
Kecerdasan Makrifat (1)
Kecerdasan Makrifat (2)
Mendudukkan Tradisi
Globalisasi dan Radikalisme (1)
Globalisasi dan Radikalisme (2)
Bahaya Globalisasi Neoliberal
De-Globalisasi
Hermeneutika dan Tafsir Alternatif
Perlukah Tafsir Hermeneutik?
Antara Nash dan Maqashid
Agama Sebagai Konsep Kognitif (1)
Agama Sebagai Konsep Kognitif (2)
Saddam-Bush: Head to Head

 

De-Globalisasi
Oleh : Khudori

Setelah liberalisasi perdagangan WTO mengalami kebuntuan di Cancun, Meksiko September lalu, pada 15 Desember ini seluruh anggota WTO akan berkumpul lagi di Geneva untuk merundingkan modalitas yang macet. Seperti di Cancun, dan sebelumnya di Doha serta Seattle, pertemuan di Geneva juga dibayang-bayangi kegagalan.

 

Elemen-elemen progresif di Uni Eropa (UE) pasti tidak akan tinggal diam. Riot di Seattle dan aksi bunuh diri Mr. Lee Kyung-hai di Cancun, berpeluang besar terulang di Geneva. Karena jika agenda WTO mulus di Jeneva, UE bisa dituduh sebagai biang kerusakan dunia.

 

Bayang-bayang kegagalan Geneva bisa dibaca dari pertemuan G-20 di Morelia, Meksiko, 25-26 Oktober lalu. Forum yang mempertemukan negara-negara industri maju dan kaya (G-7) dan negara-negara berkembang yang pasarnya sedang tumbuh ini menjadi karena selain mencakup lebih dari 85% PDB total dunia, kawasan ini dihuni lebih dari 60% penduduk Bumi.

 

Bila negara-negara maju optimistis resesi global mulai menjauh. Sebaliknya, negara-negara berkembang justru pesimistis memandang masa depan dunia karena terjadinya kesenjangan perekonomian dan kemiskinan global yang makin merisaukan akibat globalisasi ekonomi yang dipromosikan IMF, WTO dan Bank Dunia.

 

Trio Bretton Wood Institutions (BWI) ini memaksakan dogma pasar bebas dengan iming-iming kemakmuran bersama. Dengan dogma Konsesus Washington (kebijakan fiskal yang konservatif dan berdisiplin tinggi (fiscal austerity), privatisasi, dan liberalisasi pasar), globalisasi ekonomi menjanjikan kebebasan dan kemakmuran global.

 

Tapi janji-janji itu tidak terwujud. Yang terjadi justru (1) membuat situasi dunia, terutama negara-negara dunia ketiga, semakin terpuruk, (2) bersama-sama IMF dan Bank Dunia, WTO tidak lebih sebagai jongos korporasi transnasional (transnational corporation/TNCs), dan (3) dominasi negara maju atas negara berkembang mirip kolonialisme abad ke-19. Di mata negara-negara berkembang, trio Bretton Wood semakin kehilangan legitimasi. Berbagai kebusukan ketiga lembaga multilateral itu tersiar meluas.

 

Laporan komisi Meltzer atas Bank Dunia misalnya, menemukan: 70% pinjaman tanpa bunga dikonsentrasikan di 11 negara, dengan 145 negara anggota yang lain dibiarkan berjuang mendapatkan 30%; 80% sumber-sumber disediakan bukan untuk pengembangan negara-negara termiskin tetapi untuk negara-negara yang lebih makmur yang memiliki tingkat kredit yang positif; tingkat kegagalan proyek 65-70% di negara-negara termiskin dan 55-60% di negara-negara berkembang (Bello, 2002). Artinya, Bank Dunia telah melakukan misi yang jauh menyimpang dalam program pengentasan kemiskinan dunia.

 

Untuk IMF, komisi Meltzer menemukan: dalam mempromosikan pertumbuhan ekonomi, IMF malah melembagakan stagnasi ekonomi; (IMF+Bank Dunia) dikendalikan oleh lembaga ekonomi dan politik seperti G-7, khususnya kepentingan pemerintah AS dan lembaga-lembaga keuangannya; dan kurang dinamisnya lembaga tersebut dilihat dari kurangnya permintaan-permintaan eksternal dalam mempromosikan pertumbuhan (Bello, 2002).

 

Hal yang sama terjadi pada WTO, yang dengan mandat dan kewenangannya yang luas telah meminggirkan peran negara dalam urusan-urusan publik. Dengan kata lain, IMF+Bank Dunia+WTO hampir tidak ada nilai kegunaannya. Cuma, tidak seradikal Walden Bello dan Susan George yang meminta ketiganya dibubarkan, komisi Meltzer merekomendasikan ditutupnya program-program IMF/Bank Dunia dan mandat WTO.

 

Bagi negara berkembang, petuah komisi Meltzer pasti tidak menguntungkan. Negara-negara berkembang terlanjur menelan pil pahit globalisasi ekonomi. Rentang 1970-1992, globalisasi ekonomi ditandai mengalirnya tabungan dari negara berkembang ke negara maju, nilai bunga pinjaman naik, dan pertumbuhan ekonomi lamban/mandeg (Faux, 2002).

 

Semakin banyak orang kelaparan dan mati akibat kekurangan makan, kesehatan yang tidak terjamin dan tingkat pendidikan yang rendah. Saat ini, sekitar 1,3 miliar manusia di bumi hidup dengan uang kurang dari US$1 per hari dan 2,8 miliar (hampir separo penduduk bumi) hidup dengan US$2 per hari. Hidup mereka tidak lebih baik dari sapi di Uni Eropa yang disubsidi pemerintahnya US$2 per hari. Sementara seperlima penduduk bumi menikmati 80% pendapatan dunia (The Independent, 18/3/02).

 

Kemiskinan dan ketimpangan dunia, antara orang kaya dan orang miskin di dalam negara maupun antar negara, kini justru semakin meluas (Faux, 1999;UNDP, 2002). Jika pada 1980 pendapatan rata-rata 10 negara terkaya di dunia sebesar 77 kali pendapatan 10 negara termiskin di dunia, pada 1999 meningkat 149 kalinya. Jika pendapatan 10 persen orang terkaya di dunia pada 1980 masih 70 kalinya 10 persen pendapatan orang miskin di dunia, pada 1999 sudah berlipat 122 kali.

 

Perdagangan bebas jauh dari prinsip keadilan sehingga menciptakan distribusi pendapatan yang timpang. Menurut Oxfam, negara-negara miskin yang merupakan 40 persen penghuni Bumi hanya mendapat tiga persen dari setiap satu dollar AS yang dihasilkan melalui ekspor. Sementara negara-negara kaya, yang populasinya cuma 15 persen, meraup tiga per empat dari total jumlah ekspor dunia.

 

Ketimpangan dan kemiskinan tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, tapi juga di negara maju dan kaya seperti AS. Kevin Philips (1990), analis yang juga mantan pembantu Presiden Nixon pernah memetakan perubahan drastis atas distribusi pendapatan orang AS yang terjadi tahun 1977 dan 1988.

 

Jika pada tahun 1977, 1 persen keluarga kaya berpendapatan 65 kali lipat dibandingkan 10 persen lapisan keluarga miskin, satu dasawarsa berikutnya 1 persen puncak itu mendapat 115 kali lipat dari lapisan bawah. Saat ini, produksi pangan AS melimpah, tapi ada 10,5 juta rumah tangga (10,2%) yang tidak bisa memperoleh makanan dalam jumlah cukup alias kelaparan. Adalah terlalu gegabah menyerahkan masa depan dunia pada sistem Bretton Woods yang dirancang secara monolitik dan terpusat untuk kepentingan-kepentingan TNCs, khususnya perusahaan-perusahaan AS.

 

Apa yang berkembang di negara-negara selatan saat ini bukan hanya perlunya mendesain ulang lembaga-lembaga multitaleral menjadi lebih fair dan demokratis, tetapi juga berlangsung gerakan de-globalisasi, yaitu gerakan memperkuat kembali lokal dan nasional. Caranya, (1) menonaktifkan institusi-institusi Bretton Woods, (2) menetralkan (misalnya, merubah IMF menjadi lembaga riset murni yang memonitor pertukaran arus kapital), dan (3) mengurangi kekuasaan secara radikal dan mengganti ke dalam set of actor co-existing dengan kontrol dari organisasi-organisasi internasional yang lain (Bello, 2003). Strategi ini akan memperkuat aktor-aktor yang berbeda dan lembaga seperti UNCTAD, ILO dan blok-blok ekonomi regional.

 

Sebagai gantinya, diperlukan lembaga-lembaga baru yang menjunjung nilai-nilai demokrasi, keadilan, transparansi, keberlanjutan lingkungan hidup, dan subsidiaritas, yang semua itu mendukung kepentingan-kepentingan regional dan lokal. Lembaga baru itu harus memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada upaya-upaya memenuhi berbagai kebutuhan kaum miskin ketimbang menyediakan barang-barang mewah dan hiburan baru bagi orang-orang kaya.

 

Sistem baru itu juga harus memberikan prioritas kepada usaha-usaha membangun kembali modal alami dan modal sosial -yang merupakan kekayaan masyarakat yang sesungguhnya-melebihi kepentingan untuk menumpuk aset. Lebih jauh, kepemilikan dan kontrol riil harus berakar pada rakyat.

 

Ini bisa menghilangkan berbagai bentuk kepemilikan "guntai" (absentee ownership) yang lama dipromosikan trio Bretton Woods. Dengan kata lain, hal ini akan memajukan investasi riil dan mengerem spekulasi keuangan. Selain akan mendukung swasembada atau kemandirian lokal.

 

Penulis adalah peminat masalah sosial-ekonomi dan agribisnis

 

http://www.republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=16

Kamis, 18 Desember 2003