Perlukah Tafsir Hermeneutik?
Home
Budaya Modern dan Despiritualisasi (1)
Budaya Modern dan Despiritualisasi (2)
Kecerdasan Makrifat (1)
Kecerdasan Makrifat (2)
Mendudukkan Tradisi
Globalisasi dan Radikalisme (1)
Globalisasi dan Radikalisme (2)
Bahaya Globalisasi Neoliberal
De-Globalisasi
Hermeneutika dan Tafsir Alternatif
Perlukah Tafsir Hermeneutik?
Antara Nash dan Maqashid
Agama Sebagai Konsep Kognitif (1)
Agama Sebagai Konsep Kognitif (2)
Saddam-Bush: Head to Head

Perlukah Tafsir Hermeneutik?
(Catatan Untuk Ahmad Fuad Fanani)

Oleh : Arif Fadillah

 

Tulisan Ahmad Fuad Fanani (AFF) berjudul Hermeneutika dan Tafsir Alternatif dalam Republika Jumat, 5 Desember 2003, cukup menarik ditanggapi. AFF menulis adanya problem klasik dalam sejarah manusia berupa perbedaan penafsiran teks agama. Perbedaan penafsiran itu kadangkala dapat menyulut pertikaian hingga pertumpahan darah. Dalam tulisan itu pula AAF menyampaikan metode hermeneutika sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan agar mendapatkan pemahaman teks kitab suci sehingga terkuaklah misteri yang terdapat dalam simbol atau teks dan kita mendapatkan suatu kebenaran maksud Tuhan.

 

Sebetulnya, pada awalnya filsafat hermeneutik adalah, pertama, sebagai respon ilmuwan sosial terhadap fenomena filsafat positivistik yang dilakukan oleh ilmu-ilmu alam yang sangat mengedepankan prinsip kebenaran absolut, generalisasi, universialisme. Kedua, menjawab pertanyaan filsafat ilmu pengetahuan model apa yang semestinya paling tepat bagi ilmu humaniora dan sosial budaya. Pada filsafat hermeneutik sangat ditekankan metode pemahaman atau penafsiran yang bertujuan untuk menemukan keunikan suatu fenomena atau peristiwa. Di mana dalam ilmu sosial, budaya, dan humaniora (ilmu-ilmu idiografis), suatu peristiwa (misalnya sejarah revolusi Amerika, Prancis, Indonesia) tidak pernah terjadi lagi dengan sebab dan akibat yang persis sama (Akhyar, 2003). Ini berarti seperti juga aliran filsafat sebelumnya seperti idealisme, empirisme, rasionalisme, yang dianggap usang dan kurang mampu menjawab persoalan kemanusian maka tren pemikiran hermeneutik suatu saat akan dianggap usang karena telah dibangunnya pandangan filsafat yang baru.

 

Konteks hermeneutika


Kemudian, ada yang belum secara lengkap dijelaskan oleh AFF mengenai mengapa "Bapak Hermenutika Modern" yang sekaligus juga "Bapak Teologi Modern" FDE Schleiermacher melakukan penafsiran teks kitab sucinya, Bible, dengan metode hermeneutik. Padahal ini adalah hal penting yang harus kita ketahui sehingga kita dapat memahami karateristik hermeneutik sebagai suatu bentuk penafsiran sebelum mencoba menggunakannya untuk penafsiran alternatif teks Alquran. Schleiermacher, sebagai teolog, menggunakan metode hermeneutik untuk memberikan pengertian terhadap masalah teologi yang sebelumnya dihindari oleh gereja. Pertanyaan-pertanyaan sekitar validitas catatan-catatan sejarah dan Al-Kitab; penjelasan tentang realitas dan fenomena alam; tentang otoritas agama mengatur kehidupan; tentang keabsahan klaim-klaim agama atas kemurnian wahyu yang mereka terima di tengah pluralitas agama di dunia (Akhyar, 2003), atau seperti yang juga ditulis dalam Encyclopaedia Britannica dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan utama hermeneutika adalah untuk mencari "nilai kebenaran Bible".

 

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sangat relevan untuk dijawab dengan hermeneutik disebabkan oleh sejumlah fakta berikut (Ugi Suharto, 2003): 1) kalangan kristiani masih berdebat tentang apakah secara harfiah Bible itu bisa dianggap kalam Tuhan atau perkataan manusia, 2) adanya perbedaan pengarang yang menuliskan Bible mengakibatkan perbedaaan gaya dan kosakata dalam Bible, 3) teks Bible ditulis dan dibaca bukan lagi dalam bahasa asalnya sehingga mempunyai masalah dengan isu orisinalitas. Ketiga hal itu cocok dengan fakta yang ditemukan oleh Schleiermacher tentang teks Injil bahwa ternyata teks tersebut adalah hasil pemikiran kreatif manusia yang berespon terhadap situasi dalam kehidupannya. Atas dasar ini para teolog pada abad ke-19 menegaskan bahwa untuk memahami teks kita harus melihat konteks kehidupan sang penulis (Akhyar, 2003).

 

Pertanyaannya bagi kita adalah apakah pertanyaan-pertanyaan seperti itu ada pada saat kita membaca dan menafsirkan Alquran? Jawabannya tentu tidak! Sebab siapa pun yang berpikiran jernih pasti mengakui bahwa teks Alquran yang ada pada saat ini adalah teks yang sama yang diturunkan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad. Tinjauan historis, teologis, dan filosofis pada ayat-ayat Alquran menunjukkan bahwa teks yang ada dalam Alquran adalah Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, bukan karangan Muhammad sendiri atau (pernah) diubah oleh Khulafa-ur-Rasyidin atau siapa pun juga. Masalah orisinalitas Alquran sendiri sudah mendapat garansi dari Allah (Al Hijr: 9) dan yang perlu juga dicatat adalah bahwa Alquran masih dituliskan dalam bentuk bahasa seperti saat diterima oleh Nabi Muhammad.

 

Selain itu hermeneutik sebagai sebuah konsep tidak hanya mengandung pengertian sebagai metode dan tafsir tetapi juga kritik. Menurut hermeneutika kritik dilakukan dengan kritik kesejarahan (untuk menjamin keaslian sebuah teks atau kitab suci) dan dekonstruksi atas teks (meninggalkan teks harfiah kitab suci untuk sebuah penafsiran baru). Jika kita menggunakan hermeneutik sebagai suatu cara menafsirkan Alquran maka kita mau tidak mau akan menggunakan dekonstruksi atas teks Alquran. Padahal kedua kritik itu sangat tidak relevan jika digunakan kepada teks-teks dalam Alquran seperti yang sudah saya terangkan di muka.

 

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, bahkan seperti yang dikatakan oleh Ugi Suharto bahwa ada keinginan dari Arkoun untuk mendekonstruki mushaf Utsmani. Contoh lain proses dekonstruksi yang dilakukan penafsir terhadap teks Alquran adalah seperti yang dapat dibaca dalam Jurnal Perempuan No 31. Di situ disebutkan bahwa berdasarkan kajian atas kondisi realitas dan penggunaan pendekatan hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis pada saat surat an-Nisa ayat 3 diturunkan maka hasil penafsiran yang dilakukan oleh M Hilaly Basya (MHB) menyimpulkan bahwa poligami haram.

 

Menurut penulis -- jika kita ingin mencoba memahami -- dekonstruksi yang dilakukan oleh MHB lebih merupakan efek pendulum dari adanya 'penyimpangan' yang terjadi pada pelaku poligami di masyarakat dan dari apa yang dilakukan oleh Puspo Wardoyo dengan kampanye poligaminya. Namun penyimpulan poligami adalah haram dengan mengacu pada ujung ayat ''...lalu jika kalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka cukuplah satu saja'' atau ayat 129 surat yang sama ''...dan kalian tidak mungkin bisa berlaku adil di antara istri-istrimu, meskipun kalian berusaha sungguh-sungguh, karena itu janganlah kalian condong secara berlebihan" adalah sebuah dekonstruksi teks Alquran yang berlebihan pula.

 

Kehalalan poligami seperti yang disebutkan oleh Yusuf Qardhawi disertai persyaratan yang ketat tentang keadilan terhadap istri-istrinya. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam hal nafkah, pembagian waktu, perhatian, dan hal-hal yang bersifat kuantitatif. Sedangkan masalah hati -- yang Rasulullah sendiri mengaku tidak mampu melakukan antaristri-istrinya -- bukan bagian yang akan dimintai pertanggungjawabannya. Sebab, Allah sendiri memerintahkan kepada malaikat untuk tidak mencatat niat buruk seseorang sebelum niat itu diwujudkan dalam perbuatan. Penyimpangan yang mungkin dilakukan suami pelaku poligami sendiri telah disinyalir Rasulullah. Namun sulitnya berlaku adil secara kualitatif seperti yang disinyalir oleh Allah dalam surat an-Nisa itu tidak serta merta jatuh kepada pengertian bahwa poligami haram.

 

Kembali kepada penjelasan mengapa ada ketidaktepatan penggunaan hermeneutik kritik terhadap teks Alquran. Berbeda dengan teks-teks (kitab suci) lainnya Alquran mengandung apa yang disebut ayat yang muhkamat dan mutasyabihat (Ali Imran: 7). Ayat yang bersifat muhkam itu adalah yang jelas dengan sendirinya dan menunjukkan makna yang terang benderang tanpa adanya kesamaran baik dari segi lafal maupun dari segi makna seperti yang dikatakan oleh Raghib al-Asfahani dalam karyanya al-Mufradat. Ayat yang bersifat muhkam itu adalah dasar dari ajaran Islam, ada yang dipahami sebagai Alquran yang disampaikan dengan jalan mutawatir, yang semuanya itu dapat dipahami dan dimengerti oleh kaum muslimin dengan derajat yakin bahwasanya itu adalah ajaran Alquran yang dikendaki oleh Allah. Ayat-ayat yang bersikap muhkam jauh lebih banyak daripada ayat yang mutasyabihat. Sedangkan ayat yang bersifat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang masih memerlukan tafsir dan takwil. Jika kita menggunakan hermeneutik sebagai kritik teks maka tidak ada lagi ayat-ayat yang bersikap muhkam itu karena semuanya terbuka untuk dipertanyakan keabsahannya. Bukankah ini merupakan suatu proses pendegradasian validitas teks Alquran? (Ugi Suharto, 2003).

 

Lalu apakah dengan kita mengabaikan hermeneutik sebagai cara menafsir teks Alquran akan menyebabkan kita tidak dapat memahami agama secara kontekstual dan menyeluruh sehingga agama akan betul-betul menjadi dinamis, progresif, revolusioner, serta menjadi garda terdepan kekuatan pembebas dari segala bentuk eksploitasi kemanusiaan seperti yang diinginkan AFF? Jawabannya tidak! Dengan menggunakan metode tafsir dan takwil dalam khazanah tradisi Islam sendiri sebenarnya kita dapat memahami Alquran sebagaimana yang diharapkan Allah kepada kita dalam kondisi kekinian. Penggunaan metode penafsiran yang ideal dalam memahami Alquran (Yusuf Qardhawi, 1999) adalah: 1) menggabungkan antara riwayat dan perenungan pemikiran, 2) tafsir Alquran dengan Alquran, 3) tafsir Alquran dengan sunah yang sahih, 4) mempergunakan tafsir sahabat dan tabiin, 5) mengambil kemutlakan bahasa, 6) memperhatikan konteks kalimat, 7) memperhatikan asbabun nuzul, dan 8) menjadikan Alquran rujukan utama dalam mencari pemahaman.

 

Pada bagian akhir ini penulis ingin mengingatkan AFF dengan tujuannya menjawab problem klasik dalam perbedaan penafsiran teks agama ternyata tidak mampu dilakukan hermeneutik seperti kalimat yang ditulisnya "tidak ada sebuah konsep kebenaran tunggal penafsiran, karena yang ada adalah sebuah relativisme penafsiran yang bersumber pada maksud dan tujuan manusia". Bukankah dengan menggunakan hermeneutik menjadikan manusia sebagai makhluk yang lebih pandai daripada Khalik karena teks dalam Alquran diperlakukan sama dengan teks yang dihasilkan oleh kreasi manusia sehingga jika dianggap perlu akan dilakukan proses dekonstruksi? Bukankah jika hanya ingin mendapatkan konteks dalam menafsirkan teks Alquran dengan kondisi kekinian bisa dilakukan dengan metode tafsir dan takwil seperti yang telah digunakan dalam khazanah Islam? Lalu jika kita tetap ingin memakai hermeneutik tidakkah kita berperilaku seperti peribahasa mengharap burung terbang punai di tangan dilepaskan?

 

Arif Fadillah
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi UI

 

http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=147687&kat_id=16

Sabtu, 13 Desember 2003