Budaya Modern dan Despiritualisasi (2)
Home
Budaya Modern dan Despiritualisasi (1)
Budaya Modern dan Despiritualisasi (2)
Kecerdasan Makrifat (1)
Kecerdasan Makrifat (2)
Mendudukkan Tradisi
Globalisasi dan Radikalisme (1)
Globalisasi dan Radikalisme (2)
Bahaya Globalisasi Neoliberal
De-Globalisasi
Hermeneutika dan Tafsir Alternatif
Perlukah Tafsir Hermeneutik?
Antara Nash dan Maqashid
Agama Sebagai Konsep Kognitif (1)
Agama Sebagai Konsep Kognitif (2)
Saddam-Bush: Head to Head

 

Kamis, 27 Mei 2004

Budaya Modern dan Despiritualisasi

Bagian Terakhir dari Dua Tulisan

Oleh :

Abdul Hadi WM
Penyair, Budayawan, dan Pengajar di Universitas
Indonesia

William Barret (1962) mengatakan bahwa akar dari nihilisme modern dan materialisme yang membentuk kerangka nilai dari kebudayaan modern ialah proses despiritualisasi atas semua aspek kehidupan dan semua bentuk keberadaan. Hal itu telah berlangsung sejak zaman Reformasi pada abad ke-15 M bersamaan dengan bangkitnya Renaissance. Proses despiritualisasi itu berlangsung disebabkan dorongan untuk menafsirkan agama secara kontekstual, namun karena begitu berlebihan menyebabkan terjadinya pencerabutan nilai-nilai keagamaan dan spiritualitas dari kebudayaan Eropa yang telah dibentuk berdasarkan sintesa kebudayaan Romawi dan agama Kristen (Katholik Romawi). Proses despiritualisasi ini berlangsung di bawah pengaruh tafsir Ibrani terhadap kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru seperti dilakukan oleh Martin Luther dan Calvin.

 

Reformasi dan tafsir ibrani


Despiritualisasi dan kontekstualisasi itu dilakukan dengan tujuan memperoleh jenis tafsir yang lebih sesuai dengan semangat humanisme dan penalaran rasional yang ditiupkan oleh Renaissance. Tafsir tersebut diharapkan lebih membumi dan dapat menandingi tafsir Abad Tengah yang didominasi oleh ajaran Thomas Aquinas. Untuk keperluan mendapat pengertian baru tentang ajaran agama, Martin Luther (1483-1546 M) meneliti kembali pemikiran St Augustinus, filosof dan teolog abad ke-3 M, yang ajarannya banyak dilupakan oleh Gereja Katholik. Khususnya ajaran Augustinus mengenai pertentangan antara Kerajaan Tuhan dan Kerajaan Manusia. Dalam upayanya itu Luther juga mendapat pengaruh dari pemikiran keagamaan kaum Yahudi yang pada masa itu menampakkan kegiatan luar biasa di bidang intelektual dan ekonomi. Luther, sebagaimana juga Calvin, merasa tertarik untuk mengangkat kembali bagian-bagian penting dari kitab Perjanjian Lama, dan berusaha menafsirkannya menurut tradisi intelektual Ibrani.

 

Berbeda dengan pandangan Gereja Katholik ketika itu, yang memandang bahwa kerajaan ideal bagi manusia ialah Kerajaan Tuhan yang direpresentasikan oleh gereja dan orotitasnya dalam semua bidang kehidupan. Bilamana kerajaan Tuhan benar-benar dapat ditegakkan maka umat beriman dapat mengalahkan kerajaan-kerajaan yang dikuasai oleh kekuatan jahat seperti Babylon Pagan, Persia Zoroaster, dan Romawi Pra-Kristen. Tetapi dengan mengikuti tafsir Ibrani, tokoh-tokoh Reformasi memandang bahwa kerajaan yang ideal bagi manusia ialah kerajaan yang bersifat duniawi. Melalui cahaya penafsiran baru itu otoritas gereja mengalami keguncangan.

 

Masalah utama bukan lagi masalah ritual keagamaan dan spiritualitas. Masalah utama manusia adalah persoalan-persoalan yang bertalian sepenuhnya dengan persoalan dunia seperti ekonomi dan politik. Luther antara lain mengatakan bahwa Isa Almasih hanya perantara antara Tuhan dan manusia. Pengampunan dosa dan penyelamatan yang selama ini berada dalam wewenang gereja ditolak olehnya, karena menurutnya wewenang Tuhan (sola gratia) berhak diterima oleh manusia karena keberimanan (sola fide). Dia tidak menolak peranan gereja sebagai lembaga keagamaan. Yang dia tolak ialah kepercayaan bahwa penebusan dosa dan penyelamatan dosa tidak mungkin didapatkan di luar lembaga gereja.

 

Ajaran Luther dikemukakan dalam buku-bukunya yang selesai ditulis pada tahun 1520. Di dalam karya-karyanya itu dengan jelas dapat ditemui pengaruh tafsir Ibrani terhadap Perjanjian Lama yang ditransformasikan dalam penafsiran baru untuk memenuhi tuntutan zamannya. Di antara tafsir Ibrani yang paling memberikan inspirasi tokoh Reformasi ialah tafsir terhadap Kitab Ayub. Dalam tafsir terhadap bagian dari Perjanjian Lama itu dikatakan bahwa dalam kenyataan selalu terdapat konfrontasi yang sengit antara manusia dengan Tuhan. Konfrontasi itu cenderung berkepanjangan. Dalam konfrontasinya itu menusia selalu menghadap Tuhan dengan seluruh keimanannya untuk menuntut keadilan.

 

Dalam konfrontasinya dengan Tuhan itu, dengan kekerasan hati dan kegairahan imannya yang penuh, Ayub mencari pemecahan secara irasional, yaitu dengan melakukan transformasi diri secara total. Semangat Ayub dan kekuatan imannya yang mampu mengubah dirinya itu sangat menarik perhatian Martin Luther. Menurutnya kehidupan di dunia ini memerlukan orang-orang yang bermental seperti Ayub, yaitu memiliki disiplin dan iman yang tangguh, semangat untuk bekerja keras disebabkan tuntutan kewajiban. Namun bagi Barret, penafsiran yang dilakukan Luther itu hanya menghasilkan salinan yang bersahaja atas tafsir Ibrani yang sesungguhnya. Sebab apabila tafsir yang orisinal diikuti tanpa pemahaman baru, Luther dan tokoh Reformasi yang lain pasti akan meyakini bahwa manusia ini lebih merupakan makhluk spiritual dan kejiwaan, ketimbang makhluk darah dan daging. Tetapi Luther menginsyafi, demi tuntutan zaman, bahwa manusia lebih merupakan makhluk darah dan daging ketimbang makhluk spiritual dan kejiwaan.

 

Keinsyafan ini didasarkan pada alasan bahwa kitab suci itu sendiri menyatakan bahwa Adam dicipta dari tanah, baru kemudian roh ditiupkan ke dalam jasadnya. Kisah Ayub mempertegas bahwa Tuhan sebenarnya telah meninggalkan manusia, sehingga kerinduan pada asal usul kejadiannya, yaitu tanah, lebih besar dibanding kerinduannya kepada Tuhan.

 

Demikianlah, jika manusia merasa lebih dekat pada tanah, berarti dekat pada kebusukan dan kematian. Di seberang itu adalah 'ketiadaan' (nothingness) dari alam kewujudan yang tidak dikenal. Dengan begitu pula gagasan tentang 'keabadian' jiwa tidak lagi memusingkan para pemuka gerakan Reformasi dan para pengikutnya. Yang lebih diprihatinkan oleh mereka kini ialah bagaimana menempa jiwa manusia sehingga kuat dan tangguh melawan penderitaan dan kekuatan jahat yang ada di dalam dan di luar diri mereka. Disiplin dan kerja keras diperlukan sebagai sarana untuk mengatasi kefanaan hidup dan ketakberdayaan manusia berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dari luar dirinya yang bisa menghancurkan dirinya. Agar disiplin dan etos kerja keras bisa dipicu, maka 'ruang' kesadaran manusia perlu dibatasi kepada hal-hal yang bersifat konkret.

 

Lantas bagaimana dengan pandangan mereka tentang Tuhan? Bagi tokoh Reformasi, Tuhan adalah Kekuatan Yang Tak Dikenal dan Tak Teratasi. Di hadapan-Nya manusia tidak berarti sama sekali bagaikan debu. Bagaimana agar supaya manusia berarti di dunia ini? Dengan melaksanakan kewajibannya yaitu bekerja keras mengubah nasibnya. Kerja keras ini adalah bayaran bagi dosa bawaannya. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak percaya lagi kepada Tuhan. Hanya saja walaupun percaya kepada Tuhan, mereka juga insyaf bahwa Tuhan telah meninggalkan manusia sendirian di dunia ini.

 

Dengan anggapan seperti itu para tokoh Reformasi tidak lagi meyakini sifat-sifat imanensi Tuhan, yaitu kehadiran dan campur tangan Tuhan dalam peristiwa kemanusiaan. Perhubungan manusia dengan Tuhan bersifat personal dan kehadiran Tuhan juga bersifat personal, yaitu di dalam diri manusia yang beriman. Ketakpercayaan pada sifat imanensi Tuhan ini merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya proses desakralisasi atas segala sesuatu.

 

Dalam pandangan baru ini, manusia yang ideal ialah manusia yang percaya diri, konkret, mandiri, pragmatis, dan punya keterlibatan penuh dalam upaya mengatasi kefanaan wujud manusia. Gagasan Kerajaan Tuhan di bumi ditolak, begitu pula kepercayaan bahwa Tuhan campur tangan dalam peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Urusan dunia, sepenuhnya, berada di tangan manusia.

 

Oleh karena pandangan seperti itu didasarkan atas sebuah bentuk keimanan tertentu, dan keimanan dipandang irasional oleh manusia modern, maka tampaknya tidak ada kaitan antara gerakan Reformasi ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan falsafah. Namun demikian, apabila ditelusuri lebih jauh akan kita jumpai titik temu antara keduanya. Titik temu itu ialah kesamaan pendekatan keduanya terhadap alam. Mereka sama-sama melakukan desakralisasi dan despiritualisasi total terhadap alam. Simbol-simbol suci alam dicampakkan. Alam dipandang hanya sebagai objek untuk dieksplorasi dan ditaklukkan untuk memajukan industri. Pada gilirannya manusia memaksakan keinginannya agar dunia tunduk terhadap kebenaran-kebenaran yang dibuat oleh pikiran manusia sendiri, tanpa berpedoman pada kitab suci mana pun.

 

Demikianlah, seperti halnya falsafah dan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi arah pikiran dan gambaran dunia manusia modern, teologi Protestan juga ikut mendorong perubahan orientasi manusia dan kebudayaannya. Perhatian manusia pun dialihkan dari kenyataan-kenyataan yang bersifat religius dan spiritual ke arah kenyataan-kenyataan yang bersifat objektif di luar diri manusia. Semua itu menimbulkan dampak yang tidak kecil bagi manusia modern. Despritualiasi ajaran agama dan kontekstualisasinya yang berlebihan, menimbulkan pengosongan nilai-nilai spiritual dalam jiwa manusia. Proses ini, menurut Dawson, melahirkan apa yang disebut 'soscianisme', yaitu doktrin yang mengajarkan pemisahan agama dari peristiwa sejarah dan kemanusiaan.

 

Dari doktrin inilah lahir pandangan bahwa agama merupakan urusan pribadi dan tidak bisa dibawa terlibat ke dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, bahkan juga ke dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Namun apabila agama merupakan urusan pribadi, mengapa masih diperlukan adanya lembaga peribadatan seperti gereja, masjid, vihara, kuil, katedral, dan sinagog?

 

Despiritualisasi dan nihilisme


Jima modern sama dengan jiwa gelisah Faust yang tidak pernah terpuaskan jiwanya sebelum menguasai dunia, dan sama pula dengan kegigihan Ayub yang tidak kenal lelah menuntut keadilan dari Tuhan dengan sepenuh keimanannya. Dalam kenyataan, kata Oswald Spengler, manusia modern yang merupakan perpaduan Ayub dan Faust itu ialah Martin Luther. Ia begitu meyakini bahwa jiwa individual dan kekuasaan material yang diraihnya dapat saja tidak terbatas. Luther telah berhasil mengajarkan semangat indvidualisme dan keutamaan orientasi diri (self-oriented) kepada manusia modern. Dia pulalah yang mengajarkan agar setiap manusia menjadi pendeta dan hakim bagi dirinya sendiri (Barret 1961).

 

Oleh karena setiap manusia bisa menjadi pendeta bagi dirinya sendiri maka ritual-ritual keagamaan tidak penting lagi dilakukan. Padahal, sekalipun bisa saja makna kerohaniannya menyusut, ritual-ritual itu tetap diperlukan, antara lain menekan bahaya yang mungkin timbul seperti gangguan terhadap keseimbangan jiwa dan kesendirian yang bisa menghampakan batin seseorang. Ritual keagamaan juga penting untuk menghindari menyebarnya sikap anti-sosial dan memupuk kebersamaan antar penganut sebuah agama yang mungkin saja berbeda etnis, latar belakang sosial dan pendidikan, dan kelompok politik.

 

Kecuali itu ajaran keagamaan yang dihembuskan para tokoh Reformasi itu mengabaikan pentingnya pemupukan kesadaran yang bertalian dengan emosi, rasa, intuisi, dan keharuan estetik. Bentuk-bentuk kegiatan spiritual yang menggunakan sarana ekstase untuk menumbuhkan pengalaman keagamaan, juga dianggap sebagai keliru dan tidak bermanfaat. Karena Tuhan dianggap telah jauh dari kehidupan dan meninggalkan manusia, maka bentuk-bentuk spiritualitas ditampik dalam lingkungan hidup keberagamaan. Kemungkinan bahwa manusia mampu mentransendensikan dirinya melalui bentuk-bentuk spiritualitas tertentu, juga dipandang sebagai tidak ada manfaatnya.

 

Memang, selama iman benar-benar teguh, semua bentuk godaan yang dapat merusak jiwa manusia bisa dicegah. Misalnya hedonisme dan bentuk-bentuk lain dari materialisme. Akan tetapi begitu manusia modern bergerak lebih maju dan lebih jauh, semua bidang kehidupan mulai dari ilmu pengetahuan sampai seni menjadi kian sekular, maka iman akan dihadapkan pada bahaya penggembosan.

 

Inilah situasi yang dialami manusia modern, baik di luar dirinya maupun jauh dalam lubuk jiwanya. Renggangnya hubungan dengan Tuhan bertukar menjadi rapatnya hubungan manusia dengan kekosongan atau kehampaan. Hidup dianggap tidak mempunyai sangkut paut dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama mana pun dan juga tidak ada sangkut pautnya dengan kebajikan moral yang diajarkan oleh falsafah mana pun. Misalnya falsafah yang diajarkan oleh Plato, Aristoteles, Kon Fu Tze, al-Farabi atau pun Moore. Semua itu menyebabkan hancurnya ukuran nilai-nilai, serta meluasnya proses pendangkalan budaya seperti diperlihatkan oleh homogenitas budaya pop dewasa ini.

 

http://republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=162067&kat_id=16,