Kamis, 27 Mei 2004
Budaya Modern dan Despiritualisasi
Bagian
Terakhir dari Dua Tulisan
Oleh :
Abdul Hadi
WM
Penyair, Budayawan, dan Pengajar di Universitas Indonesia
William Barret (1962) mengatakan
bahwa akar dari nihilisme modern dan materialisme yang membentuk kerangka nilai dari kebudayaan modern ialah proses despiritualisasi
atas semua aspek kehidupan dan semua bentuk keberadaan. Hal itu telah berlangsung sejak zaman Reformasi pada abad ke-15 M
bersamaan dengan bangkitnya Renaissance. Proses despiritualisasi itu berlangsung disebabkan dorongan untuk menafsirkan agama
secara kontekstual, namun karena begitu berlebihan menyebabkan terjadinya pencerabutan nilai-nilai keagamaan dan spiritualitas
dari kebudayaan Eropa yang telah dibentuk berdasarkan sintesa kebudayaan Romawi dan agama Kristen (Katholik Romawi). Proses
despiritualisasi ini berlangsung di bawah pengaruh tafsir Ibrani terhadap kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru seperti
dilakukan oleh Martin Luther dan Calvin.
Reformasi dan tafsir ibrani
Despiritualisasi dan kontekstualisasi itu dilakukan dengan tujuan memperoleh jenis tafsir
yang lebih sesuai dengan semangat humanisme dan penalaran rasional yang ditiupkan oleh Renaissance. Tafsir tersebut diharapkan
lebih membumi dan dapat menandingi tafsir Abad Tengah yang didominasi oleh ajaran Thomas Aquinas. Untuk keperluan mendapat
pengertian baru tentang ajaran agama, Martin Luther (1483-1546 M) meneliti kembali pemikiran St Augustinus, filosof dan teolog
abad ke-3 M, yang ajarannya banyak dilupakan oleh Gereja Katholik. Khususnya ajaran Augustinus mengenai pertentangan antara
Kerajaan Tuhan dan Kerajaan Manusia. Dalam upayanya itu Luther juga mendapat pengaruh dari pemikiran keagamaan kaum Yahudi
yang pada masa itu menampakkan kegiatan luar biasa di bidang intelektual dan ekonomi. Luther, sebagaimana juga Calvin, merasa
tertarik untuk mengangkat kembali bagian-bagian penting dari kitab Perjanjian Lama, dan berusaha menafsirkannya menurut tradisi
intelektual Ibrani.
Berbeda dengan pandangan Gereja
Katholik ketika itu, yang memandang bahwa kerajaan ideal bagi manusia ialah Kerajaan Tuhan yang direpresentasikan oleh gereja
dan orotitasnya dalam semua bidang kehidupan. Bilamana kerajaan Tuhan benar-benar dapat ditegakkan maka umat beriman dapat
mengalahkan kerajaan-kerajaan yang dikuasai oleh kekuatan jahat seperti Babylon Pagan, Persia Zoroaster, dan Romawi Pra-Kristen.
Tetapi dengan mengikuti tafsir Ibrani, tokoh-tokoh Reformasi memandang bahwa kerajaan yang ideal bagi manusia ialah kerajaan
yang bersifat duniawi. Melalui cahaya penafsiran baru itu otoritas gereja mengalami keguncangan.
Masalah utama bukan lagi masalah
ritual keagamaan dan spiritualitas. Masalah utama manusia adalah persoalan-persoalan yang bertalian sepenuhnya dengan persoalan
dunia seperti ekonomi dan politik. Luther antara lain mengatakan bahwa Isa Almasih hanya perantara antara Tuhan dan manusia.
Pengampunan dosa dan penyelamatan yang selama ini berada dalam wewenang gereja ditolak olehnya, karena menurutnya wewenang
Tuhan (sola gratia) berhak diterima oleh manusia karena keberimanan (sola fide). Dia tidak menolak peranan gereja
sebagai lembaga keagamaan. Yang dia tolak ialah kepercayaan bahwa penebusan dosa dan penyelamatan dosa tidak mungkin didapatkan
di luar lembaga gereja.
Ajaran Luther dikemukakan dalam
buku-bukunya yang selesai ditulis pada tahun 1520. Di dalam karya-karyanya itu dengan jelas dapat ditemui pengaruh tafsir
Ibrani terhadap Perjanjian Lama yang ditransformasikan dalam penafsiran baru untuk memenuhi tuntutan zamannya. Di antara tafsir
Ibrani yang paling memberikan inspirasi tokoh Reformasi ialah tafsir terhadap Kitab Ayub. Dalam tafsir terhadap bagian dari
Perjanjian Lama itu dikatakan bahwa dalam kenyataan selalu terdapat konfrontasi yang sengit antara manusia dengan Tuhan. Konfrontasi
itu cenderung berkepanjangan. Dalam konfrontasinya itu menusia selalu menghadap Tuhan dengan seluruh keimanannya untuk menuntut
keadilan.
Dalam konfrontasinya dengan Tuhan
itu, dengan kekerasan hati dan kegairahan imannya yang penuh, Ayub mencari pemecahan secara irasional, yaitu dengan melakukan
transformasi diri secara total. Semangat Ayub dan kekuatan imannya yang mampu mengubah dirinya itu sangat menarik perhatian
Martin Luther. Menurutnya kehidupan di dunia ini memerlukan orang-orang yang bermental seperti Ayub, yaitu memiliki disiplin
dan iman yang tangguh, semangat untuk bekerja keras disebabkan tuntutan kewajiban. Namun bagi Barret, penafsiran yang dilakukan
Luther itu hanya menghasilkan salinan yang bersahaja atas tafsir Ibrani yang sesungguhnya. Sebab apabila tafsir yang orisinal
diikuti tanpa pemahaman baru, Luther dan tokoh Reformasi yang lain pasti akan meyakini bahwa manusia ini lebih merupakan makhluk
spiritual dan kejiwaan, ketimbang makhluk darah dan daging. Tetapi Luther menginsyafi, demi tuntutan zaman, bahwa manusia
lebih merupakan makhluk darah dan daging ketimbang makhluk spiritual dan kejiwaan.
Keinsyafan ini didasarkan pada
alasan bahwa kitab suci itu sendiri menyatakan bahwa Adam dicipta dari tanah, baru kemudian roh ditiupkan ke dalam jasadnya.
Kisah Ayub mempertegas bahwa Tuhan sebenarnya telah meninggalkan manusia, sehingga kerinduan pada asal usul kejadiannya, yaitu
tanah, lebih besar dibanding kerinduannya kepada Tuhan.
Demikianlah, jika manusia merasa
lebih dekat pada tanah, berarti dekat pada kebusukan dan kematian. Di seberang itu adalah 'ketiadaan' (nothingness)
dari alam kewujudan yang tidak dikenal. Dengan begitu pula gagasan tentang 'keabadian' jiwa tidak lagi memusingkan para pemuka
gerakan Reformasi dan para pengikutnya. Yang lebih diprihatinkan oleh mereka kini ialah bagaimana menempa jiwa manusia sehingga
kuat dan tangguh melawan penderitaan dan kekuatan jahat yang ada di dalam dan di luar diri mereka. Disiplin dan kerja keras
diperlukan sebagai sarana untuk mengatasi kefanaan hidup dan ketakberdayaan manusia berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dari
luar dirinya yang bisa menghancurkan dirinya. Agar disiplin dan etos kerja keras bisa dipicu, maka 'ruang' kesadaran manusia
perlu dibatasi kepada hal-hal yang bersifat konkret.
Lantas bagaimana dengan pandangan
mereka tentang Tuhan? Bagi tokoh Reformasi, Tuhan adalah Kekuatan Yang Tak Dikenal dan Tak Teratasi. Di hadapan-Nya manusia
tidak berarti sama sekali bagaikan debu. Bagaimana agar supaya manusia berarti di dunia ini? Dengan melaksanakan kewajibannya
yaitu bekerja keras mengubah nasibnya. Kerja keras ini adalah bayaran bagi dosa bawaannya. Ini tidak berarti bahwa mereka
tidak percaya lagi kepada Tuhan. Hanya saja walaupun percaya kepada Tuhan, mereka juga insyaf bahwa Tuhan telah meninggalkan
manusia sendirian di dunia ini.
Dengan anggapan seperti itu para
tokoh Reformasi tidak lagi meyakini sifat-sifat imanensi Tuhan, yaitu kehadiran dan campur tangan Tuhan dalam peristiwa kemanusiaan.
Perhubungan manusia dengan Tuhan bersifat personal dan kehadiran Tuhan juga bersifat personal, yaitu di dalam diri manusia
yang beriman. Ketakpercayaan pada sifat imanensi Tuhan ini merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya proses desakralisasi
atas segala sesuatu.
Dalam pandangan baru ini, manusia
yang ideal ialah manusia yang percaya diri, konkret, mandiri, pragmatis, dan punya keterlibatan penuh dalam upaya mengatasi
kefanaan wujud manusia. Gagasan Kerajaan Tuhan di bumi ditolak, begitu pula kepercayaan bahwa Tuhan campur tangan dalam peristiwa-peristiwa
kemanusiaan. Urusan dunia, sepenuhnya, berada di tangan manusia.
Oleh karena pandangan seperti
itu didasarkan atas sebuah bentuk keimanan tertentu, dan keimanan dipandang irasional oleh manusia modern, maka tampaknya
tidak ada kaitan antara gerakan Reformasi ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan falsafah. Namun demikian, apabila ditelusuri
lebih jauh akan kita jumpai titik temu antara keduanya. Titik temu itu ialah kesamaan pendekatan keduanya terhadap alam. Mereka
sama-sama melakukan desakralisasi dan despiritualisasi total terhadap alam. Simbol-simbol suci alam dicampakkan. Alam dipandang
hanya sebagai objek untuk dieksplorasi dan ditaklukkan untuk memajukan industri. Pada gilirannya manusia memaksakan keinginannya
agar dunia tunduk terhadap kebenaran-kebenaran yang dibuat oleh pikiran manusia sendiri, tanpa berpedoman pada kitab suci
mana pun.
Demikianlah, seperti halnya falsafah
dan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi arah pikiran dan gambaran dunia manusia modern, teologi Protestan juga ikut mendorong
perubahan orientasi manusia dan kebudayaannya. Perhatian manusia pun dialihkan dari kenyataan-kenyataan yang bersifat religius
dan spiritual ke arah kenyataan-kenyataan yang bersifat objektif di luar diri manusia. Semua itu menimbulkan dampak yang tidak
kecil bagi manusia modern. Despritualiasi ajaran agama dan kontekstualisasinya yang berlebihan, menimbulkan pengosongan nilai-nilai
spiritual dalam jiwa manusia. Proses ini, menurut Dawson, melahirkan
apa yang disebut 'soscianisme', yaitu doktrin yang mengajarkan pemisahan agama dari peristiwa sejarah dan kemanusiaan.
Dari doktrin inilah lahir pandangan
bahwa agama merupakan urusan pribadi dan tidak bisa dibawa terlibat ke dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, bahkan
juga ke dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Namun apabila agama merupakan urusan pribadi, mengapa masih diperlukan adanya
lembaga peribadatan seperti gereja, masjid, vihara, kuil, katedral, dan sinagog?
Despiritualisasi dan nihilisme
Jima modern sama dengan jiwa gelisah Faust yang tidak pernah terpuaskan jiwanya sebelum menguasai
dunia, dan sama pula dengan kegigihan Ayub yang tidak kenal lelah menuntut keadilan dari Tuhan dengan sepenuh keimanannya.
Dalam kenyataan, kata Oswald Spengler, manusia modern yang merupakan perpaduan Ayub dan Faust itu ialah Martin Luther. Ia
begitu meyakini bahwa jiwa individual dan kekuasaan material yang diraihnya dapat saja tidak terbatas. Luther telah berhasil
mengajarkan semangat indvidualisme dan keutamaan orientasi diri (self-oriented) kepada manusia modern. Dia pulalah
yang mengajarkan agar setiap manusia menjadi pendeta dan hakim bagi dirinya sendiri (Barret 1961).
Oleh karena setiap manusia bisa
menjadi pendeta bagi dirinya sendiri maka ritual-ritual keagamaan tidak penting lagi dilakukan. Padahal, sekalipun bisa saja
makna kerohaniannya menyusut, ritual-ritual itu tetap diperlukan, antara lain menekan bahaya yang mungkin timbul seperti gangguan
terhadap keseimbangan jiwa dan kesendirian yang bisa menghampakan batin seseorang. Ritual keagamaan juga penting untuk menghindari
menyebarnya sikap anti-sosial dan memupuk kebersamaan antar penganut sebuah agama yang mungkin saja berbeda etnis, latar belakang
sosial dan pendidikan, dan kelompok politik.
Kecuali itu ajaran keagamaan
yang dihembuskan para tokoh Reformasi itu mengabaikan pentingnya pemupukan kesadaran yang bertalian dengan emosi, rasa, intuisi,
dan keharuan estetik. Bentuk-bentuk kegiatan spiritual yang menggunakan sarana ekstase untuk menumbuhkan pengalaman keagamaan,
juga dianggap sebagai keliru dan tidak bermanfaat. Karena Tuhan dianggap telah jauh dari kehidupan dan meninggalkan manusia,
maka bentuk-bentuk spiritualitas ditampik dalam lingkungan hidup keberagamaan. Kemungkinan bahwa manusia mampu mentransendensikan
dirinya melalui bentuk-bentuk spiritualitas tertentu, juga dipandang sebagai tidak ada manfaatnya.
Memang, selama iman benar-benar
teguh, semua bentuk godaan yang dapat merusak jiwa manusia bisa dicegah. Misalnya hedonisme dan bentuk-bentuk lain dari materialisme.
Akan tetapi begitu manusia modern bergerak lebih maju dan lebih jauh, semua bidang kehidupan mulai dari ilmu pengetahuan sampai
seni menjadi kian sekular, maka iman akan dihadapkan pada bahaya penggembosan.
Inilah situasi yang dialami manusia
modern, baik di luar dirinya maupun jauh dalam lubuk jiwanya. Renggangnya hubungan dengan Tuhan bertukar menjadi rapatnya
hubungan manusia dengan kekosongan atau kehampaan. Hidup dianggap tidak mempunyai sangkut paut dengan nilai-nilai yang diajarkan
oleh agama mana pun dan juga tidak ada sangkut pautnya dengan kebajikan moral yang diajarkan oleh falsafah mana pun. Misalnya
falsafah yang diajarkan oleh Plato, Aristoteles, Kon Fu Tze, al-Farabi atau pun Moore. Semua itu menyebabkan hancurnya ukuran nilai-nilai, serta meluasnya proses pendangkalan budaya seperti diperlihatkan
oleh homogenitas budaya pop dewasa ini.
http://republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=162067&kat_id=16,